Jumat, 11 Juli 2008

Puisi pertanian

MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI

Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini
Tampaklah olehku ratusan ribu desa,
Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan,
Peternakan, perikanan,
Di pedalaman, di pantai dan lautan,
Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca,
Kemarau dan banjir datang dan pergi
Dan tanah airku yang
Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis,
Terpincang-pincang dan sempoyongan.

Berjuta wajahmu tampak olehku
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini
Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu,
Garis-garis penderitaan berkepanjangan,
Dan aku malu,
Aku malu kepadamu.

Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan.
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani.
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum lagi jadi subjek
Berpulih-puluh tahun lamanya.
Aku malu.

Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan
Bulir-bulir indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan
Tetapi ketika sampai pada masalah penjualan
Kami orang kota
Yang menentapkan harga
Aku malu mengatakan
Ini adalah suatu bentuk penindasan

Dan aku tertegun menyaksikan
Gabah yang kalian bakar itu
Bau asapnya
Merebak ke seantero bangsa

Demikian siklus pengulangan dan pengulangan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Karbohidrat yang setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan

Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis-habisan
Dan mengacungkan tinju, setinggi awan

Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan
Antara swasembada dan tidak swasembada
Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras
Swasembada tidak swasembada
Menghentikan impor beras mengimpor beras
Bandul yang bingung berayun-ayun
Bandul yang bingung diayun-ayunkan

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Aku malu

Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji-janji diumpankan
Tapi sekaligus ke arah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menonton dari kejauhan
DPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun dan presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lamban
Dan tak kudengar dari mulut kalian
Sepatah katapun diucapkan

Saudaraku,
Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek
Jangka waktunya pastilah lama
Tapi semuanya kita pulangkan
Kepada Tuhan
Ya Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kami
Amin.

bulog sebagai intrumen pelaksaan kebijakan pangan nasional

Peran Bulog memang mengalami pasang surut yang dinamis, tetapi alasan keberadaannya tidak pernah terlepas dan tidak dapat dilepaskan dari kerangka kebijakan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pertanyaan mengenai bagaimana peran Perum Bulog, atau sebelum itu pertanyaan apakah Bulog tepat atau tidak tepat dijadikan Perum, bahkan apakah Bulog perlu dibubarkan atau dipertahankan, harusnya sangat ditentukan oleh jawaban atas pertanyaan bagaimana strategi dan kebijakan pangan Indonesia. Oleh sebab itu, kita harus mendiskusikan dulu apa yang akan kita lakukan dengan pengembangan ketahanan pangan, baru kemudian kita diskusikan apa peran Perum Bulog; kecuali kita memang sepakat untuk tidak mengaitkan Bulog dengan ketahanan pangan.

Refleksi Kebijakan Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia, setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia. Lebih dari pada itu ketahanan pangan merupakan hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan atas pangan dan penjajahan melalui pangan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Ketahanan pangan menyangkut ketersediaan dan keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu. Dalam hal ini terdapat aspek pasokan (supply), yang mencakup produksi dan distribusi pangan. Disamping itu juga terdapat aspek daya beli, yang mencakup pula tingkat pendapatan individu dan rumah tangga. Juga terdapat aspek aksesibilitas setiap orang terhadap pangan, yang berarti mencakup hal yang berkaitan dengan keterbukaan dan kesempatan individu dan keluarga mendapatkan pangan.
Pengertian pangan sendiri juga memiliki dimensi yang luas. Mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain); serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya, seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan, dan sebagainya. Dengan demikian, pangan tidak hanya berarti pangan pokok, dan jelas tidak hanya berarti beras, tetapi pangan yang terkait dengan berbagia hal lain.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak – terutama rakyat miskin – dilihat dari aspek ketersediaan jumlah, mutu, harga, kontinyuitas, keterjangkauan, dan stabilitas. Fenomena yang ada saat ini menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut masih belum dapat dijawab dengan tuntas dibanyak negara didunia. Pada saat yang sama berbagai perkembangan telah memberikan pengaruh sangat besar terhadap usaha mewujudkan ketahanan pangan tersebut :
Kondisi di dunia menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan pangan terbesar akan terjadi di negara-negara sedang berkembang (85 persen peningkatan kebutuhan pangan dunia akan bersumber dari kelompok negara-negara ini) sedangkan peningkatan produksi pangan dunia akan bersumber dari negara-negara maju (sekitar 60 persen pertumbuhan pangan pangan datang dari negara maju). Hal tersebut kemudian terkait dengan masalah ketahanan pangan yang terutama akan terjadi di negara berkembang, dimana penduduk negara berkembang hanya akan mengkonsumsi sereal kurang dari separuh dan mengkonsumsi daging sepertiga konsumsi penduduk negara maju[2]. Hal ini akan secara nyata mempengaruhi pola pergerakan pangan dunia.
[2] Per Pinstrup-Andersen, Rajul Pandya-Lorch, Mark Rosegrant Oct. 1999. World Food Prospect : Critical Issues for Early Twenty First Century. Food Policy Report. IFPRI, Washington DC.
Kondisi pasar pangan dunia tersebut antara lain tercermin pada beberapa berubahan – dan ketidak-berubahnya – pasar beras. Tabel 1 menggambarkan perubahan 10 negara terbesar di dunia dalam produksi, impor, dan ekspor. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pangsa (PCt) produsen, importir, dan eksportir beras dipasar internasional tidak banyak berubah. Dilihat dari kegiatan produksi dan ekspor, pasar internasional beras adalah pasar oligopoli dengan dominasi beberapa negara utama. Namun urutan negara importir terbesar terjadi perubahan yang mencolok, dan hal itu menyangkut Indonesia. Indonesia yang pada tahun 1990 tidak masuk dalam daftar 10 negara importir terbesar beras, pada tahun 2000 menjadi importir terbesar walaupun tetap dapat mempertahankan urutan produsen terbesar ke tiga di dunia. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan konsumsi yang besar didalam negeri.

Tabel 1. Urutan 10 Besar Dunia dalam Produksi, Impor dan Ekspor Beras
Produsen
Importir
Eksportir
1990-an
2001
1990-an
2000
1990-an
2000
Cina
Cina
Iran
Indonesia
Thailan
Thailan
India
India
Filipina
Irak
USA
Vetnam
Indonesia
Indonesia
Brazil
Iran
Vietnam
Cina
Banglades
Banglades
Senegal
Saudi Arabia
Pakistan
USA
Vietnam
Vietnam
Banglades
Nigeria
Itali
Pakistan
Thailan
Thailan
Irak
Brazil
India
India
Myanmar
Myanmar
Hong Kong
Jepang
Australia
Urugay
Jepang
Filipina
Pantai Gading
Filipina
Cina
Itali
Filipina
Jepang
Malaysia
Senegal
Urugay
Australia
Korea Sel.
Brazil
USSR
Afriak Selatan
Myanmar
Argentina
PCtP : 88 %
PCtP : 87 %
PCtI : 34 %
PCtI : 39 %
PCtE : 90 %
PctE : 93 %
PCt = Pangsa (%) ke-10 negara tersebut terhadap kondisi produksi (P), impor (I), dan ekspor (E) dunia. Sumber : Database FAO
Ricuhnya Sidang WTO di Seatle dan sidang-sidang WTO lainnya – yang salah satu isu utamanya adalah pangan – menunjukkan bahwa usaha pengaturan tatanan perdagangan dunia (pangan) telah dan akan mengalami hambatan yang sangat besar akibat perbenturan berbagai kepentingan dari berbagai pihak. Disisi lain “perdagangan bebas” telah terlanjur menjadi “aturan-main” pokok yang diharuskan untuk diterima, tidak saja untuk kegiatan perdagangan tetapi juga untuk investasi, peraturan perlindungan, dan banyak hal lain termasuk untuk pangan. Pengalaman Seatle dan pertemuan lain menunjukkan bahwa menggantungkan diri hanya pada kelembagaan WTO dalam menyelesaikan permasalahan pangan tampaknya akan terlalu beresiko.
Pada lingkup nasional dan regional telah terjadi peningkatan dalam jumlah dan jenis pangan yang dibutuhkan, baik karena pengaruh pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, peningkatan kesadaran kesehatan, dan pengaruh globalisasi budaya konsumsi pangan. Juga terjadi peningkatan tuntutan distribusi pangan akibat persebaran jumlah penduduk dan pemukiman. Pada saat yang sama kompetisi penggunaan lahan dan prinsip keunggulan komparatif telah mengakibatkan sumberdaya produksi semakin terbatas dan terpusat. Hal ini menjadikan masalah pangan tidak lagi dapat ditunda : jumlah manusia yang kelaparan dan kurang gizi sudah sangat besar, dan hal ini merupakan pelanggaran hak azasi yang paling serius.
Namun demikian disadari sepenuhnya bahwa pembangunan ketahanan pangan bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Terdapat beberapa permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi :
1. Pertambahan jumlah penduduk yang semakin serius menekan ketersediaan sumberdaya alam yang dapat dipergunakan untuk menyediakan pangan, yang memang sudah sangat terbatas.
2. Masalah kemiskinan menjadi salah satu masalah paling serius dikaitkan dengan ketahanan pangan. Kemiskinan dan kerawanan pangan merupakan hal yang berada pada “dua sisi dari uang logam yang sama”.
3. Keterbukaan global, telah menjadikan pangan sebagai salah satu komoditi yang paling menentukan dalam komunikasi dan percaturan kepentingan global. Dalam hal ini semakin banyak negara yang harus memenuhi kebutuhan pangannya dari negara lain, dan beberapa negara yang memiliki surplus pangan terus meningkatkan surplusnya juga kemampuan untuk terus menjaga pertumbuhan surplus tersebut.
4. Telah terjadi gejala kerawanan pangan, baik pada berbagai kasus kelaparan dan mutu pangan rendah maupun pada ketidak-pastian akan tersedianya pangan yang cukup dan bermutu.
5. Telah terjadi gejala “keterjebakan” pangan yang serius, terutama dilihat semakin banyaknya komoditas pangan yang harus diimpor dalam jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan kebutuhan (lihat komoditi terigu, gula, kedele, garam, susu, dan lain-lain). Hal ini tidak dapat dipisahkan dari percaturan kepentingan global dari beberapa negara besar. Dalam hal ini perdagangan internasional tidak hanya penyangkut perang dagang, tetapi juga perang dan usaha dominasi berbagai kepentingan.
6. Terdapat gejala penyusutan jumlah unsur pendukung ketersediaan pangan akibat pertumbuhan dan jumlah permintaan yang sangat besar, sehingga penyusutan jumlah lebih banyak dari kemampuan reproduksi (lihat situasi pada ternak, sawah, dan produk perkebunan).

Peran dan Permasalahan LPND Bulog
Tidak ada yang dapat menyangkal, ketika seluruh perangkat kebijakan swasembada beras berjalan maka Bulog (ketika masih menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen/LPND) telah menjalankan perannya dengan baik. Peran tersebut menyangkut : stabilisasi harga, distribusi beras hingga daerah terpencil dan kelompok sasaran tertentu, serta pengelolaan stok. Jika dalam beberapa waktu terakhir terjadi instabilitas harga, hal tersebut lebih disebabkan karena tidak lagi berfungsinya berbagai perangkat yang sebelumnya memang secara integratif mendukung pencapaian harga yang stabil. Khusus untuk beras, kebijakan integratif dibangun dalam kebijakan swasembada dengan berbagai perangkat penunjangnya (KLBI dan KUT, monopoli Bulog, catu beras pegawai negeri, peran KUD, subsidi pupuk, pestisida dan pembangunan irigasi, peran swasembada sebagai program daerah, dll) sudah banyak yang tidak dapat dipertahankan dan sudah tidak efektif. Hal itu sebagian karena memang keinginan kita untuk menghilangkan aspek sentralistik, serba pemerintah, dan serba-seragam; disamping juga karena tekanan pihak lain terutama untuk aspek keterbukaan perdagangan internasional dan pengurangan subsidi. Sisa yang ada tinggal kebijakan harga dasar, itupun sudah dirubah menjadi kebijakan harga dasar pembelian pemerintah, dan sedikit subsidi. Perubahan komprehensif yang telah dibangun (Inpres 9/2001) belum ditindak-lanjuti secara komprehensif. Konsekwensinya pengelolaan areal tanam tidak lagi dapat dijaga secara konsisten karena berkaitan dengan otonomi daerah untuk mengelola air dan wilayah. Subsidi berjalan tersendat-sendat, penyuluh tidak lagi menjadi perangkat pengelolaan yang terkontrol, dan kredit tidak lagi tersedia dengan mudah; sehingga akhirnya produksipun berjalan seolah tanpa pengelolaan. Impor menjadi demikian terbuka, baik karena ketidak-mampuan menegakkan peraturan akibat praktek KKN maupun karena memang pembatasan impor seolah tidak diinginkan. Publikpun cenderung bersifat mendua, selalu mempermasalahkan harga naik (misalnya karena impor ditutup) tetapi jika harga turun juga akan dipeributkan (misalnya karena impor membanjir). Hal-hal tersebut plus berbagai faktor lainlah yang akhirnya menyebabkan harga yang tidak stabil, bukan melulu “kesalahan” Bulog.
Namun peran Bulog tersebut bukannya tanpa menghadapi masalah. Setidaknya terdapat tiga permasalahan yang menonjol berkaitan dengan kiprah Bulog :
1. Masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Kesan sebagai “gudang uang” cukup menonjol menghinggapi citra Bulog. Dan hal tersebut wajar adanya mengingat besarnya nilai perputaran uang yang terkait dengan kegiatan “usaha” Bulog. Akuntabilitas publik yang rendah hampir diseluruh jajaran pemerintahan dan sifat kelembagaan Bulog yang “mendua” (lembaga pemerintah tetapi melakukan aktivitas bisnis komersial) menyebabkan terbukanya praktek korupsi dan bentuk ‘moral hazard’ lainnya. Dikaitkan dengan dimensi politiknya, kasus-kasus korupsi di Bulog atau yang terkait dengan Bulog akhirnya menjadi kasus yang ‘high profile’. Dalam hal ini disamping permasalah ‘umum’ KKN itu sendiri, sifat kelembagaan Bulog yang mendua tersebut merupakan salah satu penyebab utama lemahnya akuntabilitas LPND Bulog.
2. Masalah monopoli. Bulog mengalami masa penuh ‘keistimewaan’ pada masa lalu sebagai monopoli, terutama ‘monopoli impor’, dikaitkan dengan status dan peran Bulog dalam kebijakan ketahanan pangan. Kondisi yang ‘istemewa’ tersebut menimbulkan konflik kepentingan, karena Bulog seolah berperan sebagai pemain sekaligus wasit dalam percaturan bisnis pangan di Indonesia
3. Masalah penanganan berbagai komoditi lain dengan pola yang sama. Dalam sejarahnya Bulog pernah menangani berbagai komoditas selain beras, dari terigu hingga cabe. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar dilihat sisi justifikasinya dalam kerangka ketahanan pangan. Kecurigaan penerapan praktek monopoli dan usaha ‘pencarian uang’ melalui bisnis multi-komoditi tersebut menjadi sangat mengemuka.
Dalam berbagai diskusi persiapan pembentukan Perum Bulog, usaha untuk mengatasi masalah sifat kelembagaan Bulog (LPND) yang mendua sebagai argumentasi utama bagi dasar pembentukan Perum. Diharapkan jika status Bulog menjadi lebih jelas, akuntabilitas dapat lebih dipertanggung-jawabkan, praktek KKN dapat dikurangi. Sedangkan masalah monopoli telah lebih dulu dicabut terutama atas desakan LoI-IMF, sedangkan bisnis multi-komoditi tampaknya terbuka untuk dikembangkan sesuai dengan ‘business-plan’ Perum Bulog dan tidak dikaitkan dengan kerangka ketahanan pangan tetapi dikaitkan dengan kerangka bisnis pangan untuk mencari keuntungan sesuai statusnya sebagai BUMN.

Reformulasi Kebijakan Ketahanan Pangan
Jika Perum Bulog masih akan tetap diposisikan sebagai instrumen negara dan peran Bulog memang masih akan dikaitkan dengan usaha mengembangkan ketahanan pangan, maka yang terlebih dahulu perlu ditegaskan adalah strategi ketahanan pangan yang akan dikembangkan. Baru kemudian diturunkan apa sebenarnya peran Bulog dalam strategi tersebut.
Mengenai strategi ketahanan pangan yang akan dikembangkan, serta dikaitkan dengan posisi Indonesia dalam pasar dunia dan kondisi internal di dalam negeri, tampaknya menghasilkan pangan sendiri atau mengandalkan pada pasar bebas dunia dalam membangun ketahanan pangan sudah bukan merupakan masalah pilihan salah satu atau lainnya. Yang harus dikembangkan adalah mengembangkan produksi pangan sendiri dan pada saat yang sama mendaya-gunakan pasar dunia untuk membangun sistem ketahanan pangan. Kedua cara pemenuhan pangan (memproduksi sendiri dan dari pasar dunia) harus digunakan secara bersama-sama, terkait, dan dalam satu gerak kebijakan dan pengelolaan yang padu.
Oleh sebab itu beberapa pertanyaan pokok harus diajukan sebagai agenda untuk membangun ketahanan pangan dalam pasar global melalui penerapan strategi terpadu tersebut adalah :
1. Bagaimana posisi politik pangan Indonesia dalam menghadapi pasar dunia. Apakah memang akan menggantungkan pemenuhan kebutuhan pangan pada pasar dunia (atau pada beberapa negara tertentu saja). Bagaimana posisi politik pangan tersebut juga dalam perspektif dalam negeri.
2. Bagaimana kebijakan ekonomi makro (fiskal, moneter, nilai tukar, tingkat bunga, dsb) dapat dibangun sehingga kondusif bagi pengembangan produksi pangan dalam negeri tetapi sekaligus juga mampu memperoleh manfaat maksimal dari perdagangan dunia.
3. Bagaimana kebijakan operasional (tarif, hambatan non-tarif, perkreditan, subsidi, R & D, kebijakan pengembangan per komoditi, dsb) dipadukan sehingga dapat mengembangkan sistem produksi dan konsumsi yang konsisten dengan prinsip ketahanan pangan.
4. Bagaimana memanfaatkan setiap celah dalam kesepakatan internasional dan regional (seperti prinsip reciprocity, transparency, lobby and negotiation scheme, the green box, dsb) untuk dapat memperjuangkan kepentingan domestik dengan tetap menjaga ‘kehormatan’ dalam pergaulan pasar internasional. Yang diperjuangkan haruslah pasar yang adil (fair-market) dan bukan pasar bebas (free-market).
5. Bagaimana mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri, terutama melalui peningkatan kesejahteraan produsen yang didukung oleh teknologi dan kelembagaan yang bermutu.
6. Bagaimana mencegah dan mengatasi berbagai praktek pasar ilegal secara jelas dan tegas melalui penegakan hukum. Hal yang sama diperlukan untuk memberikan kepastian berproduksi bagi petani, terutama dikaitkan dengan masalah keamanan dan kepastian hukum.
Menghadapi tantangan-tantangan besar diatas, sinkronisasi kebijakan nasional dan daerah menjadi syarat mutlak. Tidak mungkin terjadi ketahanan pangan nasional tanpa operasionalisasi kebijakan ketahanan pangan daerah, dan tidak ada daerah yang mampu membangun ketahanan pangannya sendiri tanpa keterkaitannya dengan daerah lain. Beberapa daerah dapat memiliki surplus suatu jenis pangan, tetapi tidak untuk jenis pangan lainnya. Beberapa daerah mungkin memang merupakan sentra produksi pangan, tetapi faktor produksinya dihasilkan didaerah lain (misalnya keterkaitan dalam DAS, masalah input produksi, transportasi, dll). Namun lebih daripada itu, adalah tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan jika daerah yang surplus tidak memperhatikan kepentingan daerah yang minus pangan. Oleh sebab itu, pengembangan ketahanan pangan perlu diawali dengan pengembangan strategi ketahanan pangan daerah, yang kemudian disinkronisasikan dan dikoordinasikan dengan daerah lain serta diletakkan dalam kerangka ketahanan pangan nasional. Saat ini, sinkronisasi antar daerah dan koordinasi tingkat nasional masih menjadi sesuatu yang langka.
Jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar dikaitkan dengan posisi global pangan Indonesia serta strategi ketahanan pangan daerah tersebut kemudian menjadi bagian integral dari rekonstruksi kebijakan pangan Indonesia yang setidaknya perlu mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Dibangun dari ketahanan pangan keluarga (usaha peningkatan gizi dari pekarangan), dikuatkan dengan ketahanan pangan komunitas dusun/ desa (lumbung desa, sistem isyarat dini kerawanan pangan), dan dimantapkan dengan ketahanan pangan daerah.
2. Menjadi bagian integral dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan dan sebaliknya, penanggulangan kemiskinan menjadi unsur pokok pengembangan ketahanan pangan.
3. Konsumsi dan produksi pangan yang beragam, berbasis sumberdaya lokal.
4. Dalam perspektif domestik, strategi pengembangan pangan yang selama beberapa puluh tahun diperkenalkan dan dilaksanakan, telah kehilangan banyak komponen penunjangnya yang menyebabkan strategi tersebut sangat sulit untuk dapat dipertahankan. Disamping itu, memang terdapat berbagai perubahan yang memaksa untuk merubah strategi ketahanan pangan. Perubahan dimaksud adalah
a. Dari hanya beras menjadi pangan secara keseluruhan
b. Dari dominasi pemerintah menjadi peran serta masyarakat
c. Dari serba sentralisasi menjadi desentralisasi
d. Dari pola negara yang tertutup dan penuh proteksi menjadi sistem yang (harus) dibuka
e. Dari pola yang memperoleh berbagai dukungan dan kemudahan menjadi pola yang harus dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan
4. Sedangkan khusus untuk penganeka-ragaman pangan, selama kebijakan pangan masih berorientasi beras dengan berbagai dukungan yang diberikan akan sangat sulit dilakukan usaha penganeka-ragaman pangan yang bertumpu pada inisiatif pemerintah (pusat) karena akan timbul ‘conflict of interest’. Disisi lain hal ini memberikan peluang bagi pengembangan keaneka-ragaman pangan yang berbasis daerah dan partisipasi masyarakat, atau jika dilihat dari pelaku utamanya adalah pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat secara umum. Dalam perspektif strategi, terdapat dua pilihan: (1) menjadi substitusi dari beras, dan hal ini harus diwujudkan dalam kemampuan untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan aneka yang lebih murah dan mudah dari beras; atau (2) menjadi komplementer atau memberi ruang alternatif bagi konsumen untuk memilih selain atau dikombinasikan bersama beras sebagai pangan pokok. Pilihan alternatif kedua tampaknya lebih realistis untuk menjadi basis kebijakan strategis dalam sistem kebijakan pangan yang lebih baik.
Pengembangan strategi ketahanan pangan tersebut telah mendapatkan dasar hukum yang kuat. Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 merupakan salah satu bentuk peraturan perundangan yang terkait dengan pengembangan strategi dimaksud, yang sebenarnya juga telah dimulai sejak dikeluarkannya UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan. PP-68/2002 tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan (a) ketersediaan pangan, (b) cadangan pangan nasional, (c) penganeka-ragaman pangan, (d) pencegahan dan penanggulanagn masalah pangan, yang terdiri dari pencegahan masalah pangan penanggulangan masalah pangan, dan pengendalian harga, (e) (peran) pemerintah daerah dan peran masyarakat; dan (f) pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional. Secara operasional, implementasi PP-68/2002 tersebut akan bertumpu pada usaha-usaha yang terkait dengan :
a. Peningkatan produksi dan produktivitas
b. Pengelolaan pemanfaatan produksi dalam negeri dan pemasukan atau impor
c. Pengelolaan cadangan pangan
d. Distribusi pangan
Dalam hal ini perubahan operasionalisasi ketahanan pangan, terutama keempat usaha pokok diatas, akan menentukan bentuk kongkrit dari perubahan strategi ketahanan pangan yang akan dilakukan, yang kemudian akan menentukan pencapaian ketahanan pangan rakyat Indonesia saat ini dan dimasa yang akan datang.
PP-68/2002 tersebut juga merupakan serangkaian dengan perubahan strategi yang ditunjukkan oleh Inpres 9/2001 yang kemudian disesuaikan kembali menjadi Inpres 9/2002 menyangkut Kebijakan Perberasan Nasional. Keberadaan Inpres tersebut menegaskan bahwa walaupun usaha untuk membangun ketahanan pangan berbasis multi-komoditas dan menghindari ketergantungan pada beras terus dilakukan, namun kondisi objektif dimana beras masih tetap menjadi komoditas pangan yang sangat penting, baik secara ekonomi, sosial, dan politik tidak dapat dipungkiri. Walaupun demikian telah terjadi pula perubahan strategi yang cukup mendasar menyangkut perberasan tersebut. Inpres 9 / 2002 ini telah menegaskan bahwa yang akan dikembangkan adalah kebijakan perberasan (rice-policy) secara utuh dan bukan hanya kebijakan harga beras (price policy). Untuk itu, Inpres 9 telah menginstruksikan berbagai hal yang mencakup mencakup lima bidang, yaitu
a. peningkatan produksi dan produktivitas petani,
b. peningkatan pendapatan petani,
c. penetapan ketentuan mengenai harga dasar pembelian beras,
d. pengelolaan impor, dan
e. penyaluran beras untuk rakyat miskin.

Peran Perum Bulog
Berkaitan dengan perberasan, panduan PP-68/2002 dan Inpres 9/2002 perlu pula dirangkaikan dengan perubahan yang terjadi pada Bulog, yang telah menjadi komponen sentral dalam kebijakan perberasan Indonesia selama lebih dari 20 tahun terakhir. Perubahan Bulog dari LPND menjadi Perum seperti yang diamanatkan dalam PP nomor 7/2003 tentang Pendirian Perum Bulog. Pada PP-7/2003 tersebut terdapat beberapa ketentuan mengenai Perum Bulog yang terkait dengan rangkaian PP-68/2002 dan Inpres 9/2002 :
a. Perum Bulog diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan usaha logistik pangan pokok dan usaha-usaha lain
b. Sifat usaha Perum Bulog adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan
c. Perum Bulog didirikan dengan maksud untuk menyelenggarakan usaha pangan pokok yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak
d. Perum Bulog didirikan dengan maksud dalam hal tertentu melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan pangan pemerintah, distribusi pangan pokok kepada golongan masyarakat tertentu, khususnya pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka ketahanan pangan
e. Dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah tersebut Perum Bulog akan memperhatikan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri terkait dibidang penugasan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan bahwa PP-68/2002 mengamanatkan bahwa pemerintah harus melaksanakan (secara operasional) kebijakan ketahanan pangan yang terkait dengan cadangan pangan dan distribusi pangan (disamping kebijakan operasional peningkatan produksi pangan dan pengelolaan pemasukan (impor) pangan). Tanpa mengesampingkan komoditas lain, Inpres 9/2002 menegaskan bahwa berkaitan dengan hal tersebut instansi pemerintah terkait harus melaksanakan kebijakan tersebut menyangkut komoditas beras. Dan dengan memandang bahwa beras masih tetap merupakan pangan pokok maka Perum Bulog perlu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan pemerintah dalam hal cadangan dan distribusi beras. Dengan perkataan lain, pemerintah perlu menyusun tugas-tugas operasional yang harus dilakukan oleh Bulog menyangkut pengelolaan cadangan dan distribusi beras, dalam kerangka kebijakan operasional cadangan dan distribusi pangan, dalam rangka membangun ketahanan pangan.
Perum Bulog yang diresmikan 10 Mei 2003 telah mengambil langkah-langkah untuk mendefinisikan jati-dirinya. Bulog mencangkan akan menjalani masa transisi selama dua tahun mulai 1 Januari 2003. Dalam masa transisi tersebut, tahun pertama akan menjadi permulaan kegiatan produksi dan pemasaran komoditas pangan beras dan non-beras; tahun kedua menjadi tahap pemantapan untuk mencapai kemandirian, dan selanjutnya dilaksanakan korporatisasi BUMN sesuai inti bisnis mencari keuntungan. Dalam jangka pendek 80 % pendapatan Bulog diproyeksikan dari operasi publik (penugasan pemerintah) dan 20 % dari usaha komersial. Komoditas yang akan ‘diurus’ Bulog mencakup beras, gula, kedele, dan jagung. Sedangkan lingkup kegiatan Bulog mencakup :
1. Industri perberasan
2. Usaha pergudangan
3. Survei dan pemberantasan hama
4. Penyediaan karung plastik
5. Usaha angkutan
6. Perdagangan gula pasir
7. Usaha eceran
8. Pusat perkulakan pangan terpadu

Agar Tidak Menjadi “Kendaraan Tanpa Tujuan”
Disadari sepenuhnya bahwa pengembangan strategi ketahanan pangan bukan merupakan pekerjaan mudah, dan bukan pula pekerjaan yang sekali dilakukan akan selesai seterusnya. Sistem ketahanan pangan adalah sistem yang dinamis yang memiliki faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat berubah setiap waktu. Tantangan pengembangan ketahanan pangan menjadi lebih berat mengingat berbagai kendala dan keterbatasan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat, disamping berbagai “agenda belum tuntas” yang terkait dengan kebijakan ketahanan pangan, seperti misalnya penataan pengelolaan pembangunan pusat-daerah diera desentralisasi. Lingkup permasalahan dan tantangan ketahanan pangan juga membutuhkan penanganan yang komprehensif dari berbagai instansi dan kelembagan pemerintah. Penanganan yang parsial dan jangka pendek hanya akan menyebabkan masalah ketahanan pangan “tersandera” dan jebakan masalah tanpa solusi.
Disisi lain, pengembangan Bulog agar benar-benar menjadi lembaga yang dapat menyeimbangkan peran sosial dan komersial dalam sistem pengelolaan yang transparan dan ‘accountable’ membutuhkan proses disertai dengan pemantauan yang objektif. Peran Bulog dalam ketahanan pangan dengan formatnya sebagai Perum juga masih membutuhkan waktu dan proses, disamping sesuai dengan amanat dari PP 68/2002 dan PP 7/2003 serta Inpres 9/2002 diperlukan arahan pemerintah yang harus dilaksanakan Bulog yang juga memerlukan proses.
Oleh sebab itu, agar perubahan Bulog menjadi Perum dapat tetap efektif dalam kaitannya dengan pengembangan ketahanan pangan, maka setidaknya diperlukan dua hal pokok :
1. Adanya langkah-langkah tegas dan konsisten untuk mengkristalkan strategi dan kebijakan ketahanan pangan, yang menjadi acuan sekaligus merekatkan seluruh komponen ketahanan pangan dalam satu gerak langkah bersama yang serasi dan saling menunjang.
2. Perlu adanya suatu lembaga yang dapat menjalankan fungsi koordinasi-pelaksanaan, pemantauan, serta terus mengembangkan strategi dan kebijakan ketahanan pangan ditengah dinamika berbagai komponen ketahanan pangan. Saat ini telah ada Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai Presiden dengan anggota para Menteri untuk menjalankan fungsi koordinasi pengambilan kebijakan pokok. Dewan tersebut perlu dilengkapi dengan lembaga koordinasi yang lebih operasional. Untuk itu Badan Ketahanan Pangan di Departemen Pertanian, yang selama ini juga telah berfungsi sebagai Sekretariat Dewan perlu diperkuat menjadi Badan Ketahanan Pangan Nasional langsung dibawah Presiden sehingga lebih tepat sebagai Sekretariat Dewan yang juga diketuai Presiden serta lebih mampu mengkoordinir lembaga instansi setingkat Eselon I dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini sejalan dengan langkah yang telah dikembangkan beberapa daerah, yang mengembangkan Badan Ketahanan Pangan Daerah langsung dibawah Gubernur.
Tanpa kedua hal tersebut, Perum Bulog – yang pada dasarnya sama dengan perum-perum BUMN lain – sulit diharapkan berperan optimal dalam membangun ketahanan pangan. Bisnis pangan yang sangat besar dikhawatirkan akan membuat pelaku-pelaku besar dalam bisnis tersebut menangguk keuntungan berlebih tanpa mempedulikan nasib rakyat banyak. Tugas kita semua untuk memastikan hal itu tidak terjadi.-

pertanian

Cakupan obyek pertanian yang dianut di Indonesia meliputi [[budidaya tanaman]] (termasuk [[tanaman pangan]], [[hortikultura]], dan [[perkebunan]]), [[kehutanan]], [[peternakan]], dan [[perikanan]]. Sebagaimana dapat dilihat, penggolongan ini dilakukan berdasarkan objek budidayanya:* budidaya tanaman, dengan obyek tumbuhan dan diusahakan pada lahan yang diolah secara intensif,* kehutanan, dengan obyek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar,* peternakan, dengan obyek hewan darat kering (khususnya semua [[vertebrata]] kecuali [[ikan]] dan [[amfibia]]),* perikanan, dengan obyek hewan perairan (ikan, amfibia dan semua non-vertebrata).
Pembagian dalam pendidikan tinggi sedikit banyak mengikuti pembagian ini, meskipun dalam kenyataan suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai objek ini bersama-sama sebagai bentuk efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek [[konservasi sumber daya alam]] juga dipelajari dalam ilmu-ilmu pertanian.
Dari sudut keilmuan, semua objek pertanian sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sama karena pada dasarnya usaha pertanian adalah kegiatan [[ekonomi]]: *pengelolaan tempat usaha, *pemilihan bibit, *metode budidaya, *pengumpulan hasil, *distribusi, *pengolahan dan pengemasan, *pemasaran.
Sebagai kegiatan ekonomi, pertanian dapat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamakan [[agribisnis]]. Dalam kerangka berpikir sistem ini, pengelolaan tempat usaha dan pemilihan bibit ([[varietas]], [[galur]], dan sebagainya) biasa diistilahkan sebagai aspek "hulu" dari pertanian, sementara distribusi, pengolahan, dan pemasaran dimasukkan dalam aspek "hilir". Budidaya dan pengumpulan hasil merupakan bagian dari aspek proses produksi. Semua aspek ini penting dan bagaimana [[investasi]] diarahkan ke setiap aspek menjadi pertimbangan strategis.