Selasa, 09 Desember 2008

Pemimpin dan Kepemimpinan
Penulis : Nomi Br Sinulingga
Kepemimpinan dimulai dengan hati bukan dengan kepala.
Pilkada, sebuah kata yang dekat sekali dengan bangsa ini pada hari-hari ini. Semua media massa memberikan infomasi terbaru tentang pilkada dari semua daerah untuk pelaksaan pemilihan kepala daerah. Tanah Karo, juga sedang mempersiapkan segala sesuatunya agar pelaksanaan pilkada bisa berlangsung dengan sukses. Milis tercinta Takasima ini juga sangat seru dan panas-panasnya dalam pembahasan pilkada dan terlebih membahas calon bupati yang akan dipilih pada pilkada nanti.
Saya sangat tertarik dengan pembahasan pilkada di milis ini. Saya hanya sekedar mengamati dan bingung dengan beberapa posting email yang mengajak saya berfikir pemimpin seperti apakah yang terbaik untuk masyarakat Karo, yang segelintir ada dimilis ini dan menggambarkan siapa dirinya. Apakah anggota milis ini, mewakili gambaran masyarakat Karo, atau kebanyakan mewakili golongan elite intelektual dari masyarakat Karo itu sendiri, menjadi pertanyaan bagi saya. Pemimpin seperti apakah yang tepat untuk memimpin Karo, yang sebagian karakter masyarakatnya nyata di milis ini? Pemimpin seperti apakah yang akan mengubah wajah Tanah Karo, sehingga Tanah Karo yang sudah mulai panas bisa menjadi Tanah Karo Simalem lagi?
Jeffry Wofford mengatakan, “banyak pemimpin yang duduk diposisi pemimpin tapi tidak tahu bagaimana harus memimpin.“
“Ada pemimpin tapi tidak ada kepemimpinan” demikian kata Eka Darmaputra
Berada dipuncak pimpinan, mungkin terlihat suatu yang membanggakan dan sangat menggiurkan untuk menjadi orang nomor satu. Tapi apakah sesuatu yang membanggakan seperti itu harus dikejar dengan semua usaha yang menggunakan “otak“ untuk membangun “proses“ dan menciptakan “kesempatan“ untuk membawa diri kepuncak pimpinan? Kepemimpinan yang dimulai dengan kepala menurut saya hanyalah seorang pemimpin gadungan. Ketika kekuasaan dan kekuatan uang memasuki pikiran, kedua hal itulah yang diandalkan untuk membawa diri menjadi seorang pemimpin. Dan akhirnya memimpin karena posisinya bukan karena kemampuan dirinya untuk memimpin.
Kepemimpinan sangat erat dengan pengaruh. Pengaruh yang positif sehingga anak buah (masyarakat) mengikuti dan mau dipimpin. Tapi seorang pemimpin gadungan akan mengandalkan uang dan membayar orang supaya mengikutinya. Pemimpin gadungan menggunakan kekuasaannya untuk menekan orang lain supaya mengikutinya. Semua orang yang berada dibawah pemimpin seperti ini akan tertekan dan hilang kreatifitasnya
Pemimpin harus memiliki integritas. Integritas adalah suatu prinsip yang didasarkan atas karakter, etika, agama, moral yang baik yang menyatakan siapa dia. Karena dia akan menyelaraskan itu melalui cara berpikir, berbicara, bersikap, bertindak dan mengambil keputusan (konsisten). Seseorang yang punya integritas memiliki kehidupan yang terintegrasi.
Seorang pemimpin perlu diperhatikan kehidupannya. Apakah dia mampu memimpin keluarganya, karena itu akan menunjukkan kemampuannya memimpin komunitas yang lebih besar. Kita sudah memiliki pemimpin sebelumnya untuk dievaluasi, bagaimana dia memimpin keluarga. Pertanyaan yang bisa kita pikirkan berhasilkah kepemimpinannya akan tanah Karo?
Selain mampu memimpin keluarga, pemimpin juga harus mampu memimpin diri sendiri. Mampu memimpin diri sendiri dalam memberi pendapat dengan sopan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Kalau diri sendiri tidak bisa dikendalikan, bagaimanakah orang tersebut bisa memimpin satu daerah? Kaisar Nero membakar kota Roma adalah contoh yang diakibatkan pemimpin yang tidak mampu menguasai diri. Hutan di Tanah Karo semakin gundul dan tanah pertanian semakin gersang akan terjadi apabila kita memiliki pemimpin yang tidak mampu memimpin diri sendiri.
Pemimpin yang berintegritas sangat diperlukan karena dia merupakan pribadi yang bisa dipercaya. Sehingga Visinya untuk tanah Karo bukan sesuatu mimpi saja, tetapi menjadi visi semua masyarakat Karo dan bersama-sama kita akan meraih visi itu dibawah kepemimpinannya. Kualitas penting yang perlu diperhatikan pada setiap calon pemimpin adalah, pengaruh, karakter, keahliannya tentang manusia khususnya orang Karo, semangatnya untuk tanah karo, dan kecerdasan. Kecerdasan yang dimaksud adalah kecerdasan mental yang diperlukan untuk memproses banyak informasi, menyaringnya, mempertimbangkan semua pilihan, dan membuat keputusan yang benar.
Kalau seorang pemimpin hanya menggunakan otaknya untuk menjadi pemimpin di tanah Karo, maka masih banyak yang perlu dibenahi dan di proses untuk membentuk pribadi yang mampu menjadi pemimpin di tanah Karo.
Sebagai manusia, seharusnya kita tidak boleh cuek dengan situasi yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Kita harus mengambil sikap dan sekalipun seakan kita tidak memiliki pengaruh dalam pemilihan kepala daerah. Kita memiliki keluarga, mama, mami, bibi, bengkila di tanah Karo, yang mungkin tidak mengerti dengan semua pemilihan kepala daerah. Mereka hanya tahu bahwa akan dipilih kepala daerah, dan mengharapkan sesuatu yang lebih baik akan terjadi. Keluarga kita yang di kampung, mungkin tidak bisa memahami dan mengkaji calon pemimpin yang ada yang bisa mereka pilih. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk kebaikan tanah Karo. Kita perlu mengenali calon pemimpin dan memberi penilaian apakah dia mampu memimpin tanah Karo atau tidak. Kalau kemampuan calon pemimpin dalam memimpin tanah Karo perlu dipertanyakan, sebagai masyaraka t Karo kita perlu mengambil sikap supaya hal yang lebih buruk dari sebelumnya tidak terjadi lagi atas tanah Karo.
Saya tidak tahu apa yang bisa dilakukan mencegah semua hal-hal yang akan semakin memperburuk keadaan tanah Karo selain munculnya seorang pemimpin yang memiliki kualitas kepemimpinan. Kita masih memiliki waktu untuk mencegah semua yang buruk yang bisa dihasilkan karena pemimpin gadungan yang akan menuju puncak pimpinan. Seseorang yang memimpin karena posisinya, bukan karena kepribadian dan kemampuannya untuk memimpin.
Saya pikir dipuncak itu tidak menyenangkan, karena sendirian.
Kepemimpinan yang dimulai dengan hati untuk kebaikan dan kemajuan tanah Karo akan lebih berpengaruh. Karena segala sesuatu yang dilakukan dengan hati yang tulus akan menyentuh hati.
Sejarah Tamansiswa



Nama Pendiri :Ki Hajar DewantaraNama Asli:Raden Mas Soewardi SoeryaningratLahir:Yogyakarta, 2 Mei 1889Wafat:Yogyakarta, 28 April 1959Pendidikan:* Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda)* STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tidak tamat* Europeesche Akte, Belanda* Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957Karir:* Wartawan Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara* Pendiri Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922* Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama.Organisasi:* Boedi Oetomo 1908* Pendiri Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) 25 Desember 1912Penghargaan:Bapak Pendidikan Nasional, hari kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan NasionalPahlawan Pergerakan Nasional (surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959)











Pendiri Taman Siswa ini adalah Bapak Pendidikan Nasional. Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889. Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 28 April 1959 dan dimakamkan di sana.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Konsep Pendidikan Tamansiswa :
Tamansiswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citanya. Bagi Tamansiswa, pendidikan bukanlah tujuan tetapi media untuk mencapai tujuan perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya. Merdeka lahiriah artinya tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; sedangkan merdeka secara batiniah adalah mampu mengendalikan keadaan.Tamansiswa anti intelektualisme; artinya siapa pun tidak boleh hanya mengagungkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya. Tamansiswa mengajarkan azas keseimbangan (balancing), yaitu antara intelektualitas di satu sisi dan personalitas di sisi yang lain. Maksudnya agar setiap anak didik itu berkembang kecerdasan dan kepribadiannya secara seimbang.Tujuan pendidikan Tamansiswa adalah membangun anak didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, merdeka lahir batin, luhur akal budinya, cerdas dan berketerampilan, serta sehat jasmani dan rohaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa, tanah air, serta manusia pada umumnya. Meskipun dengan susunan kalimat yang berbeda namun tujuan pendidikan Tamansiswa ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional.Kalau di Barat ada “Teori Domein” yang diciptakan oleh Benjamin S. Bloom yang terdiri dari kognitif, afektif dan psikomotorik maka di Tamansiswa ada “Konsep Tringa” yang terdiri dari ngerti (mengeta-hui), ngrasa (memahami) dan nglakoni (melakukan). Maknanya ialah, tujuan belajar itu pada dasarnya ialah meningkatkan pengetahuan anak didik tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkat-kan pemahaman tentang apa yang diketahuinya, serta meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan apa yang dipelajarinya.Pendidikan Tamansiswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada anak didik sebagaimana orang tua yang memberikan pelayanan kepada anaknya.Sistem Among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Sistem Tutwuri Handayani. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang dalam terminologi baru disebut student centered. Di dalam sistem ini pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan apa yang dimiliki oleh pendidik. Apabila minat anak didik ternyata akan ke luar “rel” atau pengembangan potensi anak didik di jalan yang salah maka pendidik berhak untuk meluruskannya.Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Tamansiswa menyelanggarakan kerja sama yang selaras antartiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan, dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.Pendidikan Tamansiswa berciri khas Pancadarma, yaitu Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah), Kebudayaan (menerapkan teori Trikon), Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing indi-vidu dan kelompok), Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku), dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

pemimpin dan pertanian

Tanggal 5 Juli nanti adalah saat yang bersejarah bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk pertama kalinya dalam perjalanan negeri ini, seorang presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat. Lompatan besar dalam kehidupan berdemokrasi ini, diikuti oleh harapan yang besar dari rakyat Indonesia akan terpilihnya pemimpin yang dapat membawa bangsa ini untuk bangkit dari keterpurukan. Para pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berlaga sudah sibuk melakukan kampanye untuk menarik simpati masyarakat. Media cetak dan elektronik pun banyak membahas tentang kapabilitas dan kemampuan setiap pasangan calon. Rekam jejak dari tiap pasangan juga mulai banyak dikuak dari kampanye negatif bahkan menjurus ke arah kampanye hitam. Namun kelihatannya masih banyak rakyat yang bingung, siapa yang harus dipilih tanggal 5 Juli nanti.
Sebelum memilih pasangan presiden dan wakil presiden yang paling tepat, kita harus terlebih dahulu mengetahui apakah kriteria pemimpin yang dibutuhkan oleh negara ini untuk 5 tahun ke depan. Kriteria pemimpin yang tepat tersebut tentu saja tergantung pada kondisi negara kita saat ini. Pemimpin yang berhasil di masa perjuangan kemerdekaan, belum tentu akan menjadi pemimpin yang baik di masa pembangunan. Pemimpin yang baik di masa sulit, belum tentu dapat menjadi pemimpin yang baik di masa kemakmuran. Jadi sebelum kita dapat mengetahui kriteria pemimpin yang dibutuhkan, kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana kondisi negara kita saat ini. Masalah-masalah apa yang sedang dihadapi bangsa kita dewasa ini. Baru kita dapat menentukan kira-kira apa yang menjadi kriteria pemimpin kita.
Banyak pengamat yang mengatakan bahwa masalah-masalah yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh krisis multidimensi, baik itu krisis ekonomi, krisis politik, krisis sosial budaya dan lain-lain. Menurut hemat saya, yang menjadi akar permasalahan dari krisis multi dimensi tersebut adalah timbulnya krisis kepercayaan yang semakin lama semakin membesar. Bangsa Indonesia semakin kehilangan kepercayaan terhadap elemen-elemen yang terkait dalam kehidupan bernegara, baik itu kepercayaan terhadap para pemimpinnya, kepercayaan terhadap aparat penegak hukumnya, kepercayaan terhadap jajaran birokrasi pemerintahannya, kepercayaan terhadap sistem yang ada, kepercayaan terhadap sesama warga negara dan yang paling parah bangsa Indonesia semakin kehilangan kepercayaan terhadap dirinya sendiri sebagai suatu bangsa yang sebetulnya merupakan suatu bangsa yang besar dengan sumber daya yang luar biasa. Krisis kepercayaan tadi menimbulkan hilangnya harapan rakyat Indonesia terhadap masa depannya. Bangsa yang tidak berpengharapan sangat sulit untuk turut serta secara efektif di dalam pembangunan.
Ada tiga hal yang menyebabkan timbulnya krisis kepercayaan tersebut. Pertama, maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di negara ini. Menurut laporan tahun 2003 kemarin, Indonesia adalah negara no. 6 terkorup di dunia. Bahkan sampai ada kelakar yang mengatakan bahwa sebetulnya Indonesia adalah negara no.1 terkorup di dunia, tapi ketika belum diumumkan, utusan dari Indonesia sudah mendatangi lembaga tersebut untuk melakukan suap sehingga Indonesia bisa turun ke posisi 6. Begitu berakarnya KKN tersebut sehingga timbul anggapan bahwa KKN sudah merupakan budaya di Indonesia dan tidak dapat dihilangkan. Budaya KKN memang telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa ini dari tingkatan teratas sampai tingkat terendah. 3 aspek yang menyangkut kesempurnaan seorang manusia adalah jasmani, rohani dan akal. Di Indonesia, jasmani diurusi oleh Departemen Kesehatan, rohani oleh Departemen Agama dan akal oleh Departemen Pendidikan. Ironisnya justru di ketiga departemen tersebut disinyalir mengalami praktik KKN yang paling parah. Jadi 3 aspek yang menyangkut kesempurnaan seorang manusia Indonesia diurusi oleh departemen yang paling bobrok, maka tidak berlebihan kalau Ketua PP Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah ‘sempurna’ kehancurannya.
Masalah kedua adalah, rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat. Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam yang luar biasa. Menurut buku World in Figures yang dikeluarkan oleh majalah The Economist tahun 2003, Indonesia adalah penghasil biji-bijian no.6 terbesar di dunia, penghasil beras no. 3 terbesar di dunia, penghasil teh no.6 terbesar di dunia, penghasil kopi no.4 terbesar di dunia, penghasil coklat no. 3 terbesar di dunia, penghasil kelapa sawit no.2 terbesar di dunia, penghasil karet alam no.2 terbesar di dunia, penghasil lada putih terbesar di dunia dan lada hitam no. 3 terbesar di dunia, penghasil tembaga no.3 terbesar, penghasil timah no.2 terbesar di dunia, penghasil nikel no.6 terbesar di dunia, penghasil emas no.8 terbesar di dunia, penghasil natural gas no.6 terbesar di dunia serta penghasil batubara no.9 terbesar di dunia. Ironisnya saat ini ada 26% rakyat Indonesia yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Jumlah pengangguran di Indonesia juga semakin meningkat, bayangkan saat ini di Indonesia ada sekitar 10,3 juta pengangguran penuh di Indonesia. Belum lagi yang berstatus setengah penganggur yang jumlahnya diperkirakan sekitar 36 juta orang!! Makin meningkatnya pengangguran tersebut diakibatkan oleh pertumbuhan ekonomi yang terjadi tidak sanggup menyerap tenaga kerja yang dihasilkan setiap tahunnya. Tidak jelasnya arah kebijakan pemerintah juga berperan dalam masalah ini. Di sektor pertanian misalnya, produk pertanian impor seperti beras, gula, kedelai, daging sapi, buah-buahan dan lain-lain, dengan mudahnya masuk ke Indonesia dengan harga yang murah sehingga produk pertanian dalam negeri kesulitan untuk bersaing. Produk impor tersebut dapat dijual dengan harga murah bukan karena petani di luar negeri lebih efisien dari petani kita. Kalau diteliti produk pertanian tersebut dijual di negerinya bahkan dengan harga yang lebih mahal dari produk pertanian di Indonesia. Namun karena produksi mereka berlebih dan pemerintah negara tersebut berupaya untuk melindungi harga produk pertaniannya maka kelebihan tersebut diekspor ke negara lain termasuk Indonesia dengan harga murah. Negara lain yang menjadi sasaran produk impor tersebut cukup cerdik dengan menerapkan bea masuk yang sesuai sehingga harga produk pertanian di negara tersebut tidak terganggu dan petani terlindungi. Namun di Indonesia, kebanyakan produk-produk impor tersebut dapat masuk dengan leluasa tanpa dikenai bea masuk sehingga harga produk pertanian dalam negeri menjadi terganggu. Bayangkan berapa banyak tenaga kerja yang mampu diserap jika produk pertanian tersebut mampu kita produksi sendiri dan produk impor dapat ditekan seminimal mungkin. Kondisi-kondisi inilah yang mengakibatkan kesejahteraan rakyat semakin menurun, dan bagaimanapun masalah kesejahteraan rakyat memegang peranan dalam makin menurunnya tingkat kepercayaan rakyat.
Masalah ketiga adalah penegakan hukum yang masih sangat lemah. Pada zaman orde baru, hukum nyata-nyata digunakan sebagai alat kepentingan politik rezim Soeharto. Setelah memasuki orde reformasi, harapan rakyat Indonesia akan terciptanya proses penegakan hukum yang lebih baik ternyata masih tinggal harapan. Saat ini pun, hukum masih tetap digunakan sebagai alat untuk berbagai kepentingan. Kasus Akbar Tanjung, menunjukkan indikasi yang kuat bagaimana suatu proses penegakan hukum telah digunakan untuk kepentingan politik. Kasus Jaksa Agung M.A. Rachman juga menjadi simbol lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Bagaimana kita dapat berharap akan tercipta proses penegakan hukum yang tegas jika alat penegak hukumnya saja sudah tidak dapat dipercaya, ibaratnya bagaimana bisa membersihkan lantai yang kotor jika menggunakan sapu yang kotor. Lemahnya kepastian hukum di Indonesia ini juga menyebabkan iklim berinvestasi menjadi kurang kondusif dan rawannya terjadi konflik horizontal. Penegakan hukum terhadap para koruptor, para pencuri kayu, pencuri ikan dan pelaku penyelundupan yang telah merugikan negara demikian besar juga masih sangat lemah. Lemahnya penegakan hukum ini juga membuat tingkat kepercayaan masyarakat semakin menurun.
Dari pemaparan di atas, kita dapat merumuskan kriteria seorang pemimpin yang kiranya dapat memecahkan masalah-masalah tersebut. Untuk masalah KKN, ibarat kita ingin membersihkan tembok, selalu harus dimulai dari atas terlebih dahulu baru kemudian merambat ke bawah. Demikian juga dalam pemberantasan KKN. Pemerintahan yang bersih harus dimulai dengan memberikan keteladanan dari atas, yaitu dengan memilih pemimpin yang bersih dan jujur. Apabila di tingkat paling atas sudah bersih maka selanjutnya ke bawah akan lebih mudah. Mulai dari jajaran menterinya, pegawai di tiap departemen, merambat ke kepala-kepala daerah, gubernur, walikota, bupati, sampai ke camat dan lurah. Karena itu kriteria pemimpin yang kita butuhkan kedepan adalah pemimpin yang JUJUR. Orang jujur ada 2 jenis, pertama adalah orang yang jujur namun belum pernah memiliki peluang untuk berbuat tidak jujur, dan yang kedua adalah orang yang pernah memiliki peluang untuk berbuat tidak jujur namun ia tetap konsisten pada kejujuran. Apalagi apabila saat itu ia berada di tengah lingkungan orang-orang yang tidak jujur. Tentunya jenis orang jujur yang kedua ini lebih teruji dan meyakinkan kita, dengan melihat track record yang bersangkutan selama ini. Kejujuran bisa kita lihat antara lain dari daftar kekayaannya dengan melihat perjalanan karier dan sumber penghasilannya selama ini. Tentunya secara logika kasar kita bisa memperkirakan berapa besar gaji seorang militer, berapa gaji seorang menteri, berapa gaji anggota Dewan dan lain sebagainya. Apakah sesuai dengan jumlah kekayaannya saat ini. Kita juga bisa melihat dari rekam jejak karier yang bersangkutan selama ini. Apakah pernah terindikasi korupsi, apakah pernah ada indikasi menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari situ kita dapat melihat bagaimana kualitas kejujuran dari calon pemimpin kita.
Bangsa Indonesia memiliki potensi yang demikian besar yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Potensi tersebut adalah sumber daya alam yang luar biasa dan pasar dalam negeri yang demikian besar, yang juga dapat digunakan sebagai bargaining power dalam melakukan kerjasama dengan negara lain. Oleh karena itu dibutuhkan visi yang jelas dari tiap kebijakan yang dilakukan. Kebijakan tersebut tidak dapat dibuat dan dilakukan secara terpisah namun harus merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dengan baik dan mempunyai arah yang jelas. Dalam menghadapi perkembangan dunia yang begitu dinamis, dimana perubahan terjadi begitu cepat, juga dibutuhkan pemimpin yang dapat mengelola perubahan tersebut dengan baik. Sehingga ke depan kita memerlukan pemimpin yang CERDAS, yang mampu melihat dan memanfaatkan segenap potensi yang kita miliki, mengelola setiap perubahan yang terjadi dengan baik, dan menyatukan arah semua kebijakan dari tingkat di bawahnya untuk menghasilkan keputusan yang efektif dan bermanfaat bagi rakyat Indonesia.
Dibutuhkan keberanian untuk menciptakan proses penegakan hukum yang tegas. Karena itu ke depan pemimpin kita harus BERANI menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Keberanian ini tentunya harus didukung oleh track record yang baik dari yang bersangkutan dalam masalah hukum. Bagaimana mungkin seorang pemimpin akan memiliki keberanian untuk melakukan proses penegakan hukum yang tegas apabila yang bersangkutan sendiri memiliki indikasi terlibat kasus pelanggaran hukum atau tindak pidana.
Dari uraian di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa kriteria pertama pemimpin yang kita butuhkan adalah JUJUR. Namun jujur saja tidak cukup, karena orang jujur yang bodoh dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bermaksud kurang baik, karena itu selain jujur juga harus CERDAS. Tapi jujur dan cerdas saja belum cukup kalau tidak berani berbuat dan tidak berani mengungkapkan kebenaran. Karena itu selain JUJUR dan CERDAS juga harus BERANI. Dengan kriteria pemimpin tersebut, kita berharap tiga akar permasalahan bangsa ini dapat dipecahkan, setidaknya akan memberikan sinyal perubahan ke arah yang lebih positif sehingga rakyat Indonesia akan timbul kembali kepercayaan dan pengharapan akan masa depannya. Dengan timbulnya harapan dari seluruh bangsa Indonesia maka proses pembangunan akan dapat dijalankan secara lebih cepat dan lebih efektif untuk menuju Indonesia yang lebih baik.

Jumat, 11 Juli 2008

Puisi pertanian

MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI

Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini
Tampaklah olehku ratusan ribu desa,
Jutaan hektar sawah, ladang, perkebunan,
Peternakan, perikanan,
Di pedalaman, di pantai dan lautan,
Terasa olehku denyut irigasi, pergantian cuaca,
Kemarau dan banjir datang dan pergi
Dan tanah airku yang
Digebrak krisis demi krisis, seperti tak habis habis,
Terpincang-pincang dan sempoyongan.

Berjuta wajahmu tampak olehku
Wahai saudaraku petani, dengan istri dan anakmu,
Garis-garis wajahmu di abad 21 ini
Masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu,
Garis-garis penderitaan berkepanjangan,
Dan aku malu,
Aku malu kepadamu.

Aku malu kepadamu, wahai saudaraku petani di pedesaan.
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani.
Beras yang masuk ke perut kami
Harganya kalian subsidi
Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian
Tak pernah kami orang kota
Kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum lagi jadi subjek
Berpulih-puluh tahun lamanya.
Aku malu.

Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan
Bulir-bulir indah, kuning keemasan
Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan
Dikumpulkan dan ke dalam karung dimasukkan
Tetapi ketika sampai pada masalah penjualan
Kami orang kota
Yang menentapkan harga
Aku malu mengatakan
Ini adalah suatu bentuk penindasan

Dan aku tertegun menyaksikan
Gabah yang kalian bakar itu
Bau asapnya
Merebak ke seantero bangsa

Demikian siklus pengulangan dan pengulangan
Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani
Karbohidrat yang setia kalian sediakan
Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan

Sedangkan kami orang perkotaan
Bila kami memproduksi sesuatu
Dan bila tentang harga, ada yang mencoba campur tangan
Kami orang kota akan berteriak habis-habisan
Dan mengacungkan tinju, setinggi awan

Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan
Antara swasembada dan tidak swasembada
Antara menghentikan impor beras dengan mengimpor beras
Swasembada tidak swasembada
Menghentikan impor beras mengimpor beras
Bandul yang bingung berayun-ayun
Bandul yang bingung diayun-ayunkan

Petani saudaraku
Aku terpaksa mengaku
Kalian selama ini kami jadikan objek
Belum jadi subjek
Berpuluh-puluh tahun lamanya
Aku malu

Didalam setiap pemilihan umum dilangsungkan
Kepada kalian janji-janji diumpankan
Tapi sekaligus ke arah kepala kalian
Diacungkan pula tinju ancaman
Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik
Dan kalian hadapi ini
Antara kesabaran dan kemuakan
Menonton dari kejauhan
DPR yang turun, DPR yang naik
Presiden yang turun dan presiden yang naik
Nasib yang beringsut sangat lamban
Dan tak kudengar dari mulut kalian
Sepatah katapun diucapkan

Saudaraku,
Ditengah krisis ini yang seperti tak habis-habis
Di tengah azab demi azab menimpa bangsa
Kami berdoa semoga yang selama ini jadi objek
Dapatlah kiranya berubah menjadi subjek
Jangka waktunya pastilah lama
Tapi semuanya kita pulangkan
Kepada Tuhan
Ya Tuhan
Tolonglah petani kami
Tolonglah bangsa kami
Amin.

bulog sebagai intrumen pelaksaan kebijakan pangan nasional

Peran Bulog memang mengalami pasang surut yang dinamis, tetapi alasan keberadaannya tidak pernah terlepas dan tidak dapat dilepaskan dari kerangka kebijakan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pertanyaan mengenai bagaimana peran Perum Bulog, atau sebelum itu pertanyaan apakah Bulog tepat atau tidak tepat dijadikan Perum, bahkan apakah Bulog perlu dibubarkan atau dipertahankan, harusnya sangat ditentukan oleh jawaban atas pertanyaan bagaimana strategi dan kebijakan pangan Indonesia. Oleh sebab itu, kita harus mendiskusikan dulu apa yang akan kita lakukan dengan pengembangan ketahanan pangan, baru kemudian kita diskusikan apa peran Perum Bulog; kecuali kita memang sepakat untuk tidak mengaitkan Bulog dengan ketahanan pangan.

Refleksi Kebijakan Ketahanan Pangan
Pangan merupakan kebutuhan hidup terpenting bagi manusia, setelah udara dan air. Oleh karenanya ketahanan pangan individu, rumah tangga, dan komunitas merupakan hak azasi manusia. Lebih dari pada itu ketahanan pangan merupakan hak segala bangsa, dan oleh sebab itu penjajahan atas pangan dan penjajahan melalui pangan diatas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Ketahanan pangan menyangkut ketersediaan dan keterjangkauan terhadap pangan yang cukup dan bermutu. Dalam hal ini terdapat aspek pasokan (supply), yang mencakup produksi dan distribusi pangan. Disamping itu juga terdapat aspek daya beli, yang mencakup pula tingkat pendapatan individu dan rumah tangga. Juga terdapat aspek aksesibilitas setiap orang terhadap pangan, yang berarti mencakup hal yang berkaitan dengan keterbukaan dan kesempatan individu dan keluarga mendapatkan pangan.
Pengertian pangan sendiri juga memiliki dimensi yang luas. Mulai dari pangan yang esensial bagi kehidupan manusia yang sehat dan produktif (keseimbangan kalori, karbohidrat, protein, lemak, vitamin, serat, dan zat esensial lain); serta pangan yang dikonsumsi atas kepentingan sosial dan budaya, seperti untuk kesenangan, kebugaran, kecantikan, dan sebagainya. Dengan demikian, pangan tidak hanya berarti pangan pokok, dan jelas tidak hanya berarti beras, tetapi pangan yang terkait dengan berbagia hal lain.
Pertanyaan pokok mengenai ketahanan pangan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pangan rakyat banyak – terutama rakyat miskin – dilihat dari aspek ketersediaan jumlah, mutu, harga, kontinyuitas, keterjangkauan, dan stabilitas. Fenomena yang ada saat ini menunjukkan bahwa pertanyaan tersebut masih belum dapat dijawab dengan tuntas dibanyak negara didunia. Pada saat yang sama berbagai perkembangan telah memberikan pengaruh sangat besar terhadap usaha mewujudkan ketahanan pangan tersebut :
Kondisi di dunia menunjukkan bahwa peningkatan kebutuhan pangan terbesar akan terjadi di negara-negara sedang berkembang (85 persen peningkatan kebutuhan pangan dunia akan bersumber dari kelompok negara-negara ini) sedangkan peningkatan produksi pangan dunia akan bersumber dari negara-negara maju (sekitar 60 persen pertumbuhan pangan pangan datang dari negara maju). Hal tersebut kemudian terkait dengan masalah ketahanan pangan yang terutama akan terjadi di negara berkembang, dimana penduduk negara berkembang hanya akan mengkonsumsi sereal kurang dari separuh dan mengkonsumsi daging sepertiga konsumsi penduduk negara maju[2]. Hal ini akan secara nyata mempengaruhi pola pergerakan pangan dunia.
[2] Per Pinstrup-Andersen, Rajul Pandya-Lorch, Mark Rosegrant Oct. 1999. World Food Prospect : Critical Issues for Early Twenty First Century. Food Policy Report. IFPRI, Washington DC.
Kondisi pasar pangan dunia tersebut antara lain tercermin pada beberapa berubahan – dan ketidak-berubahnya – pasar beras. Tabel 1 menggambarkan perubahan 10 negara terbesar di dunia dalam produksi, impor, dan ekspor. Tabel tersebut menunjukkan bahwa pangsa (PCt) produsen, importir, dan eksportir beras dipasar internasional tidak banyak berubah. Dilihat dari kegiatan produksi dan ekspor, pasar internasional beras adalah pasar oligopoli dengan dominasi beberapa negara utama. Namun urutan negara importir terbesar terjadi perubahan yang mencolok, dan hal itu menyangkut Indonesia. Indonesia yang pada tahun 1990 tidak masuk dalam daftar 10 negara importir terbesar beras, pada tahun 2000 menjadi importir terbesar walaupun tetap dapat mempertahankan urutan produsen terbesar ke tiga di dunia. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan konsumsi yang besar didalam negeri.

Tabel 1. Urutan 10 Besar Dunia dalam Produksi, Impor dan Ekspor Beras
Produsen
Importir
Eksportir
1990-an
2001
1990-an
2000
1990-an
2000
Cina
Cina
Iran
Indonesia
Thailan
Thailan
India
India
Filipina
Irak
USA
Vetnam
Indonesia
Indonesia
Brazil
Iran
Vietnam
Cina
Banglades
Banglades
Senegal
Saudi Arabia
Pakistan
USA
Vietnam
Vietnam
Banglades
Nigeria
Itali
Pakistan
Thailan
Thailan
Irak
Brazil
India
India
Myanmar
Myanmar
Hong Kong
Jepang
Australia
Urugay
Jepang
Filipina
Pantai Gading
Filipina
Cina
Itali
Filipina
Jepang
Malaysia
Senegal
Urugay
Australia
Korea Sel.
Brazil
USSR
Afriak Selatan
Myanmar
Argentina
PCtP : 88 %
PCtP : 87 %
PCtI : 34 %
PCtI : 39 %
PCtE : 90 %
PctE : 93 %
PCt = Pangsa (%) ke-10 negara tersebut terhadap kondisi produksi (P), impor (I), dan ekspor (E) dunia. Sumber : Database FAO
Ricuhnya Sidang WTO di Seatle dan sidang-sidang WTO lainnya – yang salah satu isu utamanya adalah pangan – menunjukkan bahwa usaha pengaturan tatanan perdagangan dunia (pangan) telah dan akan mengalami hambatan yang sangat besar akibat perbenturan berbagai kepentingan dari berbagai pihak. Disisi lain “perdagangan bebas” telah terlanjur menjadi “aturan-main” pokok yang diharuskan untuk diterima, tidak saja untuk kegiatan perdagangan tetapi juga untuk investasi, peraturan perlindungan, dan banyak hal lain termasuk untuk pangan. Pengalaman Seatle dan pertemuan lain menunjukkan bahwa menggantungkan diri hanya pada kelembagaan WTO dalam menyelesaikan permasalahan pangan tampaknya akan terlalu beresiko.
Pada lingkup nasional dan regional telah terjadi peningkatan dalam jumlah dan jenis pangan yang dibutuhkan, baik karena pengaruh pertambahan jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, peningkatan kesadaran kesehatan, dan pengaruh globalisasi budaya konsumsi pangan. Juga terjadi peningkatan tuntutan distribusi pangan akibat persebaran jumlah penduduk dan pemukiman. Pada saat yang sama kompetisi penggunaan lahan dan prinsip keunggulan komparatif telah mengakibatkan sumberdaya produksi semakin terbatas dan terpusat. Hal ini menjadikan masalah pangan tidak lagi dapat ditunda : jumlah manusia yang kelaparan dan kurang gizi sudah sangat besar, dan hal ini merupakan pelanggaran hak azasi yang paling serius.
Namun demikian disadari sepenuhnya bahwa pembangunan ketahanan pangan bukan hal yang mudah dan dapat dilakukan dengan cepat. Terdapat beberapa permasalahan dan tantangan yang harus dihadapi :
1. Pertambahan jumlah penduduk yang semakin serius menekan ketersediaan sumberdaya alam yang dapat dipergunakan untuk menyediakan pangan, yang memang sudah sangat terbatas.
2. Masalah kemiskinan menjadi salah satu masalah paling serius dikaitkan dengan ketahanan pangan. Kemiskinan dan kerawanan pangan merupakan hal yang berada pada “dua sisi dari uang logam yang sama”.
3. Keterbukaan global, telah menjadikan pangan sebagai salah satu komoditi yang paling menentukan dalam komunikasi dan percaturan kepentingan global. Dalam hal ini semakin banyak negara yang harus memenuhi kebutuhan pangannya dari negara lain, dan beberapa negara yang memiliki surplus pangan terus meningkatkan surplusnya juga kemampuan untuk terus menjaga pertumbuhan surplus tersebut.
4. Telah terjadi gejala kerawanan pangan, baik pada berbagai kasus kelaparan dan mutu pangan rendah maupun pada ketidak-pastian akan tersedianya pangan yang cukup dan bermutu.
5. Telah terjadi gejala “keterjebakan” pangan yang serius, terutama dilihat semakin banyaknya komoditas pangan yang harus diimpor dalam jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan kebutuhan (lihat komoditi terigu, gula, kedele, garam, susu, dan lain-lain). Hal ini tidak dapat dipisahkan dari percaturan kepentingan global dari beberapa negara besar. Dalam hal ini perdagangan internasional tidak hanya penyangkut perang dagang, tetapi juga perang dan usaha dominasi berbagai kepentingan.
6. Terdapat gejala penyusutan jumlah unsur pendukung ketersediaan pangan akibat pertumbuhan dan jumlah permintaan yang sangat besar, sehingga penyusutan jumlah lebih banyak dari kemampuan reproduksi (lihat situasi pada ternak, sawah, dan produk perkebunan).

Peran dan Permasalahan LPND Bulog
Tidak ada yang dapat menyangkal, ketika seluruh perangkat kebijakan swasembada beras berjalan maka Bulog (ketika masih menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen/LPND) telah menjalankan perannya dengan baik. Peran tersebut menyangkut : stabilisasi harga, distribusi beras hingga daerah terpencil dan kelompok sasaran tertentu, serta pengelolaan stok. Jika dalam beberapa waktu terakhir terjadi instabilitas harga, hal tersebut lebih disebabkan karena tidak lagi berfungsinya berbagai perangkat yang sebelumnya memang secara integratif mendukung pencapaian harga yang stabil. Khusus untuk beras, kebijakan integratif dibangun dalam kebijakan swasembada dengan berbagai perangkat penunjangnya (KLBI dan KUT, monopoli Bulog, catu beras pegawai negeri, peran KUD, subsidi pupuk, pestisida dan pembangunan irigasi, peran swasembada sebagai program daerah, dll) sudah banyak yang tidak dapat dipertahankan dan sudah tidak efektif. Hal itu sebagian karena memang keinginan kita untuk menghilangkan aspek sentralistik, serba pemerintah, dan serba-seragam; disamping juga karena tekanan pihak lain terutama untuk aspek keterbukaan perdagangan internasional dan pengurangan subsidi. Sisa yang ada tinggal kebijakan harga dasar, itupun sudah dirubah menjadi kebijakan harga dasar pembelian pemerintah, dan sedikit subsidi. Perubahan komprehensif yang telah dibangun (Inpres 9/2001) belum ditindak-lanjuti secara komprehensif. Konsekwensinya pengelolaan areal tanam tidak lagi dapat dijaga secara konsisten karena berkaitan dengan otonomi daerah untuk mengelola air dan wilayah. Subsidi berjalan tersendat-sendat, penyuluh tidak lagi menjadi perangkat pengelolaan yang terkontrol, dan kredit tidak lagi tersedia dengan mudah; sehingga akhirnya produksipun berjalan seolah tanpa pengelolaan. Impor menjadi demikian terbuka, baik karena ketidak-mampuan menegakkan peraturan akibat praktek KKN maupun karena memang pembatasan impor seolah tidak diinginkan. Publikpun cenderung bersifat mendua, selalu mempermasalahkan harga naik (misalnya karena impor ditutup) tetapi jika harga turun juga akan dipeributkan (misalnya karena impor membanjir). Hal-hal tersebut plus berbagai faktor lainlah yang akhirnya menyebabkan harga yang tidak stabil, bukan melulu “kesalahan” Bulog.
Namun peran Bulog tersebut bukannya tanpa menghadapi masalah. Setidaknya terdapat tiga permasalahan yang menonjol berkaitan dengan kiprah Bulog :
1. Masalah korupsi, kolusi dan nepotisme. Kesan sebagai “gudang uang” cukup menonjol menghinggapi citra Bulog. Dan hal tersebut wajar adanya mengingat besarnya nilai perputaran uang yang terkait dengan kegiatan “usaha” Bulog. Akuntabilitas publik yang rendah hampir diseluruh jajaran pemerintahan dan sifat kelembagaan Bulog yang “mendua” (lembaga pemerintah tetapi melakukan aktivitas bisnis komersial) menyebabkan terbukanya praktek korupsi dan bentuk ‘moral hazard’ lainnya. Dikaitkan dengan dimensi politiknya, kasus-kasus korupsi di Bulog atau yang terkait dengan Bulog akhirnya menjadi kasus yang ‘high profile’. Dalam hal ini disamping permasalah ‘umum’ KKN itu sendiri, sifat kelembagaan Bulog yang mendua tersebut merupakan salah satu penyebab utama lemahnya akuntabilitas LPND Bulog.
2. Masalah monopoli. Bulog mengalami masa penuh ‘keistimewaan’ pada masa lalu sebagai monopoli, terutama ‘monopoli impor’, dikaitkan dengan status dan peran Bulog dalam kebijakan ketahanan pangan. Kondisi yang ‘istemewa’ tersebut menimbulkan konflik kepentingan, karena Bulog seolah berperan sebagai pemain sekaligus wasit dalam percaturan bisnis pangan di Indonesia
3. Masalah penanganan berbagai komoditi lain dengan pola yang sama. Dalam sejarahnya Bulog pernah menangani berbagai komoditas selain beras, dari terigu hingga cabe. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar dilihat sisi justifikasinya dalam kerangka ketahanan pangan. Kecurigaan penerapan praktek monopoli dan usaha ‘pencarian uang’ melalui bisnis multi-komoditi tersebut menjadi sangat mengemuka.
Dalam berbagai diskusi persiapan pembentukan Perum Bulog, usaha untuk mengatasi masalah sifat kelembagaan Bulog (LPND) yang mendua sebagai argumentasi utama bagi dasar pembentukan Perum. Diharapkan jika status Bulog menjadi lebih jelas, akuntabilitas dapat lebih dipertanggung-jawabkan, praktek KKN dapat dikurangi. Sedangkan masalah monopoli telah lebih dulu dicabut terutama atas desakan LoI-IMF, sedangkan bisnis multi-komoditi tampaknya terbuka untuk dikembangkan sesuai dengan ‘business-plan’ Perum Bulog dan tidak dikaitkan dengan kerangka ketahanan pangan tetapi dikaitkan dengan kerangka bisnis pangan untuk mencari keuntungan sesuai statusnya sebagai BUMN.

Reformulasi Kebijakan Ketahanan Pangan
Jika Perum Bulog masih akan tetap diposisikan sebagai instrumen negara dan peran Bulog memang masih akan dikaitkan dengan usaha mengembangkan ketahanan pangan, maka yang terlebih dahulu perlu ditegaskan adalah strategi ketahanan pangan yang akan dikembangkan. Baru kemudian diturunkan apa sebenarnya peran Bulog dalam strategi tersebut.
Mengenai strategi ketahanan pangan yang akan dikembangkan, serta dikaitkan dengan posisi Indonesia dalam pasar dunia dan kondisi internal di dalam negeri, tampaknya menghasilkan pangan sendiri atau mengandalkan pada pasar bebas dunia dalam membangun ketahanan pangan sudah bukan merupakan masalah pilihan salah satu atau lainnya. Yang harus dikembangkan adalah mengembangkan produksi pangan sendiri dan pada saat yang sama mendaya-gunakan pasar dunia untuk membangun sistem ketahanan pangan. Kedua cara pemenuhan pangan (memproduksi sendiri dan dari pasar dunia) harus digunakan secara bersama-sama, terkait, dan dalam satu gerak kebijakan dan pengelolaan yang padu.
Oleh sebab itu beberapa pertanyaan pokok harus diajukan sebagai agenda untuk membangun ketahanan pangan dalam pasar global melalui penerapan strategi terpadu tersebut adalah :
1. Bagaimana posisi politik pangan Indonesia dalam menghadapi pasar dunia. Apakah memang akan menggantungkan pemenuhan kebutuhan pangan pada pasar dunia (atau pada beberapa negara tertentu saja). Bagaimana posisi politik pangan tersebut juga dalam perspektif dalam negeri.
2. Bagaimana kebijakan ekonomi makro (fiskal, moneter, nilai tukar, tingkat bunga, dsb) dapat dibangun sehingga kondusif bagi pengembangan produksi pangan dalam negeri tetapi sekaligus juga mampu memperoleh manfaat maksimal dari perdagangan dunia.
3. Bagaimana kebijakan operasional (tarif, hambatan non-tarif, perkreditan, subsidi, R & D, kebijakan pengembangan per komoditi, dsb) dipadukan sehingga dapat mengembangkan sistem produksi dan konsumsi yang konsisten dengan prinsip ketahanan pangan.
4. Bagaimana memanfaatkan setiap celah dalam kesepakatan internasional dan regional (seperti prinsip reciprocity, transparency, lobby and negotiation scheme, the green box, dsb) untuk dapat memperjuangkan kepentingan domestik dengan tetap menjaga ‘kehormatan’ dalam pergaulan pasar internasional. Yang diperjuangkan haruslah pasar yang adil (fair-market) dan bukan pasar bebas (free-market).
5. Bagaimana mengembangkan kemampuan produksi dalam negeri, terutama melalui peningkatan kesejahteraan produsen yang didukung oleh teknologi dan kelembagaan yang bermutu.
6. Bagaimana mencegah dan mengatasi berbagai praktek pasar ilegal secara jelas dan tegas melalui penegakan hukum. Hal yang sama diperlukan untuk memberikan kepastian berproduksi bagi petani, terutama dikaitkan dengan masalah keamanan dan kepastian hukum.
Menghadapi tantangan-tantangan besar diatas, sinkronisasi kebijakan nasional dan daerah menjadi syarat mutlak. Tidak mungkin terjadi ketahanan pangan nasional tanpa operasionalisasi kebijakan ketahanan pangan daerah, dan tidak ada daerah yang mampu membangun ketahanan pangannya sendiri tanpa keterkaitannya dengan daerah lain. Beberapa daerah dapat memiliki surplus suatu jenis pangan, tetapi tidak untuk jenis pangan lainnya. Beberapa daerah mungkin memang merupakan sentra produksi pangan, tetapi faktor produksinya dihasilkan didaerah lain (misalnya keterkaitan dalam DAS, masalah input produksi, transportasi, dll). Namun lebih daripada itu, adalah tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan jika daerah yang surplus tidak memperhatikan kepentingan daerah yang minus pangan. Oleh sebab itu, pengembangan ketahanan pangan perlu diawali dengan pengembangan strategi ketahanan pangan daerah, yang kemudian disinkronisasikan dan dikoordinasikan dengan daerah lain serta diletakkan dalam kerangka ketahanan pangan nasional. Saat ini, sinkronisasi antar daerah dan koordinasi tingkat nasional masih menjadi sesuatu yang langka.
Jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar dikaitkan dengan posisi global pangan Indonesia serta strategi ketahanan pangan daerah tersebut kemudian menjadi bagian integral dari rekonstruksi kebijakan pangan Indonesia yang setidaknya perlu mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Dibangun dari ketahanan pangan keluarga (usaha peningkatan gizi dari pekarangan), dikuatkan dengan ketahanan pangan komunitas dusun/ desa (lumbung desa, sistem isyarat dini kerawanan pangan), dan dimantapkan dengan ketahanan pangan daerah.
2. Menjadi bagian integral dari usaha penanggulangan masalah kemiskinan dan sebaliknya, penanggulangan kemiskinan menjadi unsur pokok pengembangan ketahanan pangan.
3. Konsumsi dan produksi pangan yang beragam, berbasis sumberdaya lokal.
4. Dalam perspektif domestik, strategi pengembangan pangan yang selama beberapa puluh tahun diperkenalkan dan dilaksanakan, telah kehilangan banyak komponen penunjangnya yang menyebabkan strategi tersebut sangat sulit untuk dapat dipertahankan. Disamping itu, memang terdapat berbagai perubahan yang memaksa untuk merubah strategi ketahanan pangan. Perubahan dimaksud adalah
a. Dari hanya beras menjadi pangan secara keseluruhan
b. Dari dominasi pemerintah menjadi peran serta masyarakat
c. Dari serba sentralisasi menjadi desentralisasi
d. Dari pola negara yang tertutup dan penuh proteksi menjadi sistem yang (harus) dibuka
e. Dari pola yang memperoleh berbagai dukungan dan kemudahan menjadi pola yang harus dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan
4. Sedangkan khusus untuk penganeka-ragaman pangan, selama kebijakan pangan masih berorientasi beras dengan berbagai dukungan yang diberikan akan sangat sulit dilakukan usaha penganeka-ragaman pangan yang bertumpu pada inisiatif pemerintah (pusat) karena akan timbul ‘conflict of interest’. Disisi lain hal ini memberikan peluang bagi pengembangan keaneka-ragaman pangan yang berbasis daerah dan partisipasi masyarakat, atau jika dilihat dari pelaku utamanya adalah pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat secara umum. Dalam perspektif strategi, terdapat dua pilihan: (1) menjadi substitusi dari beras, dan hal ini harus diwujudkan dalam kemampuan untuk memproduksi dan mendistribusikan pangan aneka yang lebih murah dan mudah dari beras; atau (2) menjadi komplementer atau memberi ruang alternatif bagi konsumen untuk memilih selain atau dikombinasikan bersama beras sebagai pangan pokok. Pilihan alternatif kedua tampaknya lebih realistis untuk menjadi basis kebijakan strategis dalam sistem kebijakan pangan yang lebih baik.
Pengembangan strategi ketahanan pangan tersebut telah mendapatkan dasar hukum yang kuat. Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 merupakan salah satu bentuk peraturan perundangan yang terkait dengan pengembangan strategi dimaksud, yang sebenarnya juga telah dimulai sejak dikeluarkannya UU no 7 tahun 1996 tentang Pangan. PP-68/2002 tersebut memuat hal-hal yang berkaitan dengan (a) ketersediaan pangan, (b) cadangan pangan nasional, (c) penganeka-ragaman pangan, (d) pencegahan dan penanggulanagn masalah pangan, yang terdiri dari pencegahan masalah pangan penanggulangan masalah pangan, dan pengendalian harga, (e) (peran) pemerintah daerah dan peran masyarakat; dan (f) pengembangan sumberdaya manusia dan kerjasama internasional. Secara operasional, implementasi PP-68/2002 tersebut akan bertumpu pada usaha-usaha yang terkait dengan :
a. Peningkatan produksi dan produktivitas
b. Pengelolaan pemanfaatan produksi dalam negeri dan pemasukan atau impor
c. Pengelolaan cadangan pangan
d. Distribusi pangan
Dalam hal ini perubahan operasionalisasi ketahanan pangan, terutama keempat usaha pokok diatas, akan menentukan bentuk kongkrit dari perubahan strategi ketahanan pangan yang akan dilakukan, yang kemudian akan menentukan pencapaian ketahanan pangan rakyat Indonesia saat ini dan dimasa yang akan datang.
PP-68/2002 tersebut juga merupakan serangkaian dengan perubahan strategi yang ditunjukkan oleh Inpres 9/2001 yang kemudian disesuaikan kembali menjadi Inpres 9/2002 menyangkut Kebijakan Perberasan Nasional. Keberadaan Inpres tersebut menegaskan bahwa walaupun usaha untuk membangun ketahanan pangan berbasis multi-komoditas dan menghindari ketergantungan pada beras terus dilakukan, namun kondisi objektif dimana beras masih tetap menjadi komoditas pangan yang sangat penting, baik secara ekonomi, sosial, dan politik tidak dapat dipungkiri. Walaupun demikian telah terjadi pula perubahan strategi yang cukup mendasar menyangkut perberasan tersebut. Inpres 9 / 2002 ini telah menegaskan bahwa yang akan dikembangkan adalah kebijakan perberasan (rice-policy) secara utuh dan bukan hanya kebijakan harga beras (price policy). Untuk itu, Inpres 9 telah menginstruksikan berbagai hal yang mencakup mencakup lima bidang, yaitu
a. peningkatan produksi dan produktivitas petani,
b. peningkatan pendapatan petani,
c. penetapan ketentuan mengenai harga dasar pembelian beras,
d. pengelolaan impor, dan
e. penyaluran beras untuk rakyat miskin.

Peran Perum Bulog
Berkaitan dengan perberasan, panduan PP-68/2002 dan Inpres 9/2002 perlu pula dirangkaikan dengan perubahan yang terjadi pada Bulog, yang telah menjadi komponen sentral dalam kebijakan perberasan Indonesia selama lebih dari 20 tahun terakhir. Perubahan Bulog dari LPND menjadi Perum seperti yang diamanatkan dalam PP nomor 7/2003 tentang Pendirian Perum Bulog. Pada PP-7/2003 tersebut terdapat beberapa ketentuan mengenai Perum Bulog yang terkait dengan rangkaian PP-68/2002 dan Inpres 9/2002 :
a. Perum Bulog diberi tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan usaha logistik pangan pokok dan usaha-usaha lain
b. Sifat usaha Perum Bulog adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan
c. Perum Bulog didirikan dengan maksud untuk menyelenggarakan usaha pangan pokok yang bermutu dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak
d. Perum Bulog didirikan dengan maksud dalam hal tertentu melaksanakan tugas-tugas tertentu yang diberikan Pemerintah dalam pengamanan harga pangan pokok, pengelolaan cadangan pangan pemerintah, distribusi pangan pokok kepada golongan masyarakat tertentu, khususnya pangan pokok beras dan pangan pokok lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka ketahanan pangan
e. Dalam rangka melaksanakan penugasan pemerintah tersebut Perum Bulog akan memperhatikan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri terkait dibidang penugasan tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dikemukakan bahwa PP-68/2002 mengamanatkan bahwa pemerintah harus melaksanakan (secara operasional) kebijakan ketahanan pangan yang terkait dengan cadangan pangan dan distribusi pangan (disamping kebijakan operasional peningkatan produksi pangan dan pengelolaan pemasukan (impor) pangan). Tanpa mengesampingkan komoditas lain, Inpres 9/2002 menegaskan bahwa berkaitan dengan hal tersebut instansi pemerintah terkait harus melaksanakan kebijakan tersebut menyangkut komoditas beras. Dan dengan memandang bahwa beras masih tetap merupakan pangan pokok maka Perum Bulog perlu melaksanakan tugas-tugas yang diberikan pemerintah dalam hal cadangan dan distribusi beras. Dengan perkataan lain, pemerintah perlu menyusun tugas-tugas operasional yang harus dilakukan oleh Bulog menyangkut pengelolaan cadangan dan distribusi beras, dalam kerangka kebijakan operasional cadangan dan distribusi pangan, dalam rangka membangun ketahanan pangan.
Perum Bulog yang diresmikan 10 Mei 2003 telah mengambil langkah-langkah untuk mendefinisikan jati-dirinya. Bulog mencangkan akan menjalani masa transisi selama dua tahun mulai 1 Januari 2003. Dalam masa transisi tersebut, tahun pertama akan menjadi permulaan kegiatan produksi dan pemasaran komoditas pangan beras dan non-beras; tahun kedua menjadi tahap pemantapan untuk mencapai kemandirian, dan selanjutnya dilaksanakan korporatisasi BUMN sesuai inti bisnis mencari keuntungan. Dalam jangka pendek 80 % pendapatan Bulog diproyeksikan dari operasi publik (penugasan pemerintah) dan 20 % dari usaha komersial. Komoditas yang akan ‘diurus’ Bulog mencakup beras, gula, kedele, dan jagung. Sedangkan lingkup kegiatan Bulog mencakup :
1. Industri perberasan
2. Usaha pergudangan
3. Survei dan pemberantasan hama
4. Penyediaan karung plastik
5. Usaha angkutan
6. Perdagangan gula pasir
7. Usaha eceran
8. Pusat perkulakan pangan terpadu

Agar Tidak Menjadi “Kendaraan Tanpa Tujuan”
Disadari sepenuhnya bahwa pengembangan strategi ketahanan pangan bukan merupakan pekerjaan mudah, dan bukan pula pekerjaan yang sekali dilakukan akan selesai seterusnya. Sistem ketahanan pangan adalah sistem yang dinamis yang memiliki faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat berubah setiap waktu. Tantangan pengembangan ketahanan pangan menjadi lebih berat mengingat berbagai kendala dan keterbatasan yang dihadapi pemerintah dan masyarakat, disamping berbagai “agenda belum tuntas” yang terkait dengan kebijakan ketahanan pangan, seperti misalnya penataan pengelolaan pembangunan pusat-daerah diera desentralisasi. Lingkup permasalahan dan tantangan ketahanan pangan juga membutuhkan penanganan yang komprehensif dari berbagai instansi dan kelembagan pemerintah. Penanganan yang parsial dan jangka pendek hanya akan menyebabkan masalah ketahanan pangan “tersandera” dan jebakan masalah tanpa solusi.
Disisi lain, pengembangan Bulog agar benar-benar menjadi lembaga yang dapat menyeimbangkan peran sosial dan komersial dalam sistem pengelolaan yang transparan dan ‘accountable’ membutuhkan proses disertai dengan pemantauan yang objektif. Peran Bulog dalam ketahanan pangan dengan formatnya sebagai Perum juga masih membutuhkan waktu dan proses, disamping sesuai dengan amanat dari PP 68/2002 dan PP 7/2003 serta Inpres 9/2002 diperlukan arahan pemerintah yang harus dilaksanakan Bulog yang juga memerlukan proses.
Oleh sebab itu, agar perubahan Bulog menjadi Perum dapat tetap efektif dalam kaitannya dengan pengembangan ketahanan pangan, maka setidaknya diperlukan dua hal pokok :
1. Adanya langkah-langkah tegas dan konsisten untuk mengkristalkan strategi dan kebijakan ketahanan pangan, yang menjadi acuan sekaligus merekatkan seluruh komponen ketahanan pangan dalam satu gerak langkah bersama yang serasi dan saling menunjang.
2. Perlu adanya suatu lembaga yang dapat menjalankan fungsi koordinasi-pelaksanaan, pemantauan, serta terus mengembangkan strategi dan kebijakan ketahanan pangan ditengah dinamika berbagai komponen ketahanan pangan. Saat ini telah ada Dewan Ketahanan Pangan yang diketuai Presiden dengan anggota para Menteri untuk menjalankan fungsi koordinasi pengambilan kebijakan pokok. Dewan tersebut perlu dilengkapi dengan lembaga koordinasi yang lebih operasional. Untuk itu Badan Ketahanan Pangan di Departemen Pertanian, yang selama ini juga telah berfungsi sebagai Sekretariat Dewan perlu diperkuat menjadi Badan Ketahanan Pangan Nasional langsung dibawah Presiden sehingga lebih tepat sebagai Sekretariat Dewan yang juga diketuai Presiden serta lebih mampu mengkoordinir lembaga instansi setingkat Eselon I dalam pelaksanaan kebijakan. Hal ini sejalan dengan langkah yang telah dikembangkan beberapa daerah, yang mengembangkan Badan Ketahanan Pangan Daerah langsung dibawah Gubernur.
Tanpa kedua hal tersebut, Perum Bulog – yang pada dasarnya sama dengan perum-perum BUMN lain – sulit diharapkan berperan optimal dalam membangun ketahanan pangan. Bisnis pangan yang sangat besar dikhawatirkan akan membuat pelaku-pelaku besar dalam bisnis tersebut menangguk keuntungan berlebih tanpa mempedulikan nasib rakyat banyak. Tugas kita semua untuk memastikan hal itu tidak terjadi.-

pertanian

Cakupan obyek pertanian yang dianut di Indonesia meliputi [[budidaya tanaman]] (termasuk [[tanaman pangan]], [[hortikultura]], dan [[perkebunan]]), [[kehutanan]], [[peternakan]], dan [[perikanan]]. Sebagaimana dapat dilihat, penggolongan ini dilakukan berdasarkan objek budidayanya:* budidaya tanaman, dengan obyek tumbuhan dan diusahakan pada lahan yang diolah secara intensif,* kehutanan, dengan obyek tumbuhan (biasanya pohon) dan diusahakan pada lahan yang setengah liar,* peternakan, dengan obyek hewan darat kering (khususnya semua [[vertebrata]] kecuali [[ikan]] dan [[amfibia]]),* perikanan, dengan obyek hewan perairan (ikan, amfibia dan semua non-vertebrata).
Pembagian dalam pendidikan tinggi sedikit banyak mengikuti pembagian ini, meskipun dalam kenyataan suatu usaha pertanian dapat melibatkan berbagai objek ini bersama-sama sebagai bentuk efisiensi dan peningkatan keuntungan. Pertimbangan akan kelestarian lingkungan mengakibatkan aspek-aspek [[konservasi sumber daya alam]] juga dipelajari dalam ilmu-ilmu pertanian.
Dari sudut keilmuan, semua objek pertanian sebenarnya memiliki dasar-dasar yang sama karena pada dasarnya usaha pertanian adalah kegiatan [[ekonomi]]: *pengelolaan tempat usaha, *pemilihan bibit, *metode budidaya, *pengumpulan hasil, *distribusi, *pengolahan dan pengemasan, *pemasaran.
Sebagai kegiatan ekonomi, pertanian dapat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamakan [[agribisnis]]. Dalam kerangka berpikir sistem ini, pengelolaan tempat usaha dan pemilihan bibit ([[varietas]], [[galur]], dan sebagainya) biasa diistilahkan sebagai aspek "hulu" dari pertanian, sementara distribusi, pengolahan, dan pemasaran dimasukkan dalam aspek "hilir". Budidaya dan pengumpulan hasil merupakan bagian dari aspek proses produksi. Semua aspek ini penting dan bagaimana [[investasi]] diarahkan ke setiap aspek menjadi pertimbangan strategis.

Kamis, 22 Mei 2008

Kurangnya Perhatian Pemerintah Di Bidang Agraria

Sepanjang tahun 2007, secara umum kondisi kaum tani di Indonesia tidak berubah banyak dari tahun sebelumnya. Angka kemiskinan yang mencapai 16.58 persen—walaupun turun dari tahun 2006 sebanyak 17.75 persen—tidak merepresentasikan kondisi di lapangan. Nyatanya, sejumlah 63.52 persen dari total orang miskin tersebut adalah rakyat yang tinggal di desa, yang mayoritasnya (70 persen) adalah kaum tani.
Pembangunan RI di tahun 2007 juga tidak kunjung memprioritaskan pertanian. Paradigma pemerintah tetap mengandalkan sektor industri dan jasa, dan jelas sangat tergantung pada investasi, perdagangan saham, dan utang. Per November 2007 porsi investasi asing di Indonesia sudah mencapai 74 persen, yang diwakili sekitar 200 perusahaan transnasional. Fenomena ini juga yang ‘menyerempet’ bahaya di sektor pertanian, bisa terlihat jelas di sektor perkebunan, terutama komoditi kelapa sawit.
Sebenarnya ada harapan besar bagi petani ketika ada program nasional yang dicanangkan SBY-JK pada 11 Juni 2005 berupa program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Kemudian disusul dengan pengumuman pemerintah pada 28 September 2006 yang menyatakan akan melaksanakan pembaruan agraria dengan menyediakan lahan seluas 8,15 juta hektar via Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Bahkan, janji pelaksanaan pembaruan agraria diperkukuh melalui pidato Presiden SBY pada 31 Januari 2007.
Namun kini, semua janji presiden dan Jusuf Kalla itu hanya tinggal janji. Semuanya tidak dilaksanakan.
Kebijakan Pembangunan Pertanian dan PerdaganganDari rekaman dan analisis yang dilakukan oleh Serikat petani Indonesia, terdapat berbagai kebiijakan pembangunan pertanian yang semangatnya bukanlah untuk kesejahteraan dan membangun pertanian nasional namun justru berpihak kepada pemodal dan investasi. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
Pertama, Kebijakan pemerintah untuk kembali mengimpor pangan dicatat dalam beberapa fakta, yaitu naiknya impor beras 1.5 juta ton beras di tahun 2007. Ini naik dari tahun 2006 yang hanya sebesar 840 ribu ton (atau naik 78.5 persen). Dalam komoditi kedelai, mengimpor 1.5 juta ton kedelai di tahun 2007. Ini naik dari tahun 2006 yang sebesar 1.2 juta ton (atau naik 25 persen). Untuk memudahkan impor beras diujung tahun 2007 pemerintah melalui Menkeu menetapkan penurunan tarif BM atas impor beras sebesar Rp. 100, menjadi Rp. 450 yang sebelumnya sebesar Rp. 550,-.
Tentunya hal tersebut tidak terlepas dari perdagangan pertanian yang diatur oleh WTO. Sudah lama kaum tani di Indonesia kesusahan akibat liberalisasi perdagangan (penghapusan subsidi domestik nasional, penghapusan pajak ekspor, penghapusan tarif masuk) ala WTO.
Selain masalah impor pangan, isu kedaulatan pangan pada tahun 2007 adalah tetap isu rawan pangan. Dari total 349 kabupaten di Indonesia, terjadi rawan pangan pada 100 kabupaten. Di antara 100 kabupaten tersebut, 30 kabupaten dinyatakan kronis dan 60 cukup rawan.
Kedua, mulai tahun 2006, krisis bahan bakar fosil dan isu lingkungan membuat isu Bahan Bakar Nabati (BBN) naik yang artinya ditahun 2008 ini kawasan perkebunan kelapa sawit akan semakin meluas. BBN, kami sebutkan sebagai agrofuel—bukan biofuel—karena prefiks ‘bio’ belum tentu menjamin agrofuel ini hijau, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Sebaliknya, mode produksi yang menyertai agrofuel ini adalah masif, monokultur, ekspansif dan export-oriented sehingga sangat membahayakan rakyat sekaligus lingkungan.
Pada tahun 2006 juga, pemerintah mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Instruksi Presiden tentang Bahan Bakar Nabati (BBN). Perpres ini pun efektif berjalan seiring naiknya isu agrofuel. Akibatnya, kini banyak terjadi salah kaprah di tengah pemerintah dan rakyat. Pemerintah mendorong rakyat berbondong-bondong menanam komoditas agrofuel, ditambah penanaman modal yang cukup besar juga di sektor ini.
Komoditas-komoditas seperti kelapa sawit, kedelai, singkong, jagung sekarang ditanam untuk agrofuel. Akibatnya adalah naiknya harga minyak goreng sepanjang tahun 2007 yang mencapai 35%, kerusakan lingkungan yang makin meluas, dan potensi penggusuran yang menambah konflik agraria di pedesaan. Serikat Petani Indonesia (SPI) mencatat betapa ekspansifnya perluasan kebun kelapa sawit yang saat ini mencapai 6 juta ha lebih.
Ketiga, medio 2007, pemerintah mengesahkan UU No. 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal. Sejak digodok, UU ini telah menuai banyak protes dari gerakan rakyat. Lebih lanjut, substansi di dalam UU ini akhirnya digugat oleh SPI bersama gerakan rakyat lainnya yang tergabung dalam GERAK LAWAN. Hingga saat ini proses mengadili UU ini (atau disebut judicial review) masih berlangsung di Mahkamah Konstitusi dan sudah mencapai tiga kali persidangan.
UU ini antara lain digugat karena bertentangan dengan UUD 1945 yaitu : Pasal 2, Pasal 6 Pasal 7, dan yang berhubungan langsung dengan agraria adalah Pasal 19 (pemerintah akan memberi kemudahan bagi investor untuk memperoleh hak atas tanah), serta Pasal 20 (HGU 95 tahun, HGB 80 tahun, dan HP 70 tahun). Undang-Undang ini berpotensi menambah konflik agraria.
Serikat Petani Indonesia (SPI) juga mencatat banyak kebijakan lainnya yang menyebabkan kekerasan (judicial violence) terhadap petani yaitu UU 7/2004 tentang sumberdaya air, UU 18/2004 tentang Perkebunan, UU Pertambangan serta perpres 36/2005 direvisi menjadi perpres 65/2006 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepetingan umum. Dan sekarang ini pemerintah dengan DPR RI sedang menyusun RUU tentang Lahan Pertanian Pangan Abadi yang arahnya belum jelas. Dapat disimpulkan bahwa banyak kebijakan agraria yang kontradiktif dengan pencapaian pembaruan agraria yang dimandatkan UUPA 1960.
Inkonsistensi pemerintah dalam pembangunan pertanian dan pedesaan juga terlihat dengan rendahnya jumlah anggaran yang dialokasikan untuk sektor ini. Pada tahun 2007, anggaran untuk sektor pertanian, perikanan dan kehutanan hanya seperdelapan dari jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pembayaran utang yang mencapai 85. 1 trilyun rupiah.
Konflik Agraria dan Hak asasi petaniSelama tahun 2007 tercatat lebih dari 76 kasus konflik agraria terjadi, bahkan sebagian besar masih merupakan kasus lama. Lebih dari 196.179 Ha lahan rakyat dirampas sehingga tidak bisa bertani di atas lahan tersebut. Lebih dari 166 petani tercatat dikriminalisasi dengan ditangkap dan dijadikan tersangka, hampir semua petani yang ditangkap mengalami tindak kekerasan. belum lagi lebih dari 24.257 KK petani yang tergusur dari tanahnya dan mengalami pelanggaran HAM. 8 orang tercatat tewas dalam konflik. Dari banyak korban konflik 12 orang diantaranya tercatat mengalami luka tembak. Data ini semua hanyalah data dari anggota SPI dan jaringan serta yang berhasil dikumpulkan, lebih dari itu banyak konflik dan korban yang masih terututup informasinya dari publik.
Secara umum konflik agraria terjadi di wilayah perkebunan dan kehutanan contohnya seperti: Perkebunan, salah satunya yang terjadi pada anggota SPI Sumatera utara di Kabupaten Asahan, tepatnya di Bandar Pasir Mandoge. Konflik Petani dengan PT. BSP (Bakrie Sumatera plantation) telah berlangsung sejak tahun 1981 namun hingga kini kasus tersebut tidak pernah selesai, tidak terhitung lagi penangkapan dan tindak kekerasan yang diterima petani, terakhir pada 7 Juni 2007 salah seorang tokoh petani ditangkap.
Kehutanan, Dalam konteks ini petani sering dituduh menyerobot wilayah hutan, padahal dalam banyak kasus justru petanilah yang diserobot lahannya. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Cibaliung di Propinsi Banten, tanah rakyat justru dirampas Perhutani, meski petani memiliki bukti kepemilikan yang sah hal tersebut tidak menutup tindak kekerasan yang terjadi pada petani.
Konflik kehutanan juga muncul di wilayah konservasi hutan atau hutan suaka, padahal rakyat lebih lama tinggal di kawasan tersebut. Seperti yang terjadi dalam kasus TNUK (Taman Nasional Ujung Kulon) di Propinsi Banten petani dipaksa pindah dari tempat tinggalnya karena daerahnya ditetapkan sebagai taman nasional. Konflik yang berkepanjangan itu menimbulkan korban satu orang tewas tertembak pada 2006 yang mengakibatkan kemarahan petani sehingga timbul konflik, buntut dari konflik tersebut pada 23 Mei 2007 lima orang petani di kawasan TNUK ditangkap.
Selain itu dalam banyak konflik agraria tidak jarang petani berhadapan dengan aparatur negara, baik TNI maupun POLRI, bahkan dalam beberapa kasus konflik agraria yang terjadi langsung berhadapan dengan aparat. Seperti yang terjadi dalam bentrok antara AL dan petani di desa Alas Tlogo, Pasuruan Jawa Timur pada 30 mei 2007 yang mengakibatkan 3 orang tewas tertembak dan 8 lainnya mengalami luka akibat tembakan. Konflik tersebut bermula dari sengketa lahan seluas 3.569 Ha yang diklaim sebagai milik AL dan digunakan sebagai pusat latihan tempur.
Kasus serupa juga terjadi pada Januari 2007 di Rumpin, Bogor. TNI AU mengklaim tanah warga sebagai lokasi latihannya. Akibatnya pada 22 januari 2007 terjadi bentrok TNI AU dengan warga yang mengakibatkan 7 orang luka-luka, satu diantarannya luka tembak serta 4 warga yang diserahkan ke polisi setelah sebelumnya mengalami penyiksaan dari aparat TNI AU.
PenutupKebijakan dari rezim SBY-Kalla sekarang ini merupakan cerminan dari watak aslinya. Janji-janji kala kampanye dan setelah menjadi presiden dan wapres terbukti sudah banyak sekali diingkari. Maka dalam momentum ini, SPI menyatakan bahwa selama Reforma Agraria seperti yang dimandatkan dalam konstitusi RI dan UUPA 1960 tak dijalankan maka langkah bagi pembangunan di Indonesia akan terus dibayangi oleh kelaparan, konflik agraria, rusaknya infrastruktur pedesaan, impor pangan, urbanisasi, prostitusi, dan tingginya perempuan buruh migrant. Pada akhirnya masalah-masalah mendasar kerakyatan di lapangan yakni kelaparan, pengangguran, kurang pendidikan, masalah kesehatan dan terutama kemiskinan akan terus menghantui bangsa kita.
Oleh sebab itu kita butuh solusi yang berani dan luar biasa, sehingga pelaksanaan Pembaruan Agraria yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960) sebagai penjabaran dari UUD 1945 pasal 33, merupakan agenda yang mendasar bagi Indonesia untuk terjadinya perombakan, pembaruan, pemulihan dan penataan sistem agraria nasional yang sejati demi keadilan dan kemakmuran bagi petani, dan seluruh rakyat Indonesia. Dan agenda ini, tidak bisa ditunda-tunda lagi dengan alasan apapun!
Selanjutnya juga harus ditegakkannya Hak-hak asasi Petani dan dijalankannya Kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan kebijakan-kebijakan pertanian dan pangannya sendiri, untuk melindungi dan mengatur produksi pertanian domestik dan perdagangan untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang berkelanjutan, menentukan jumlah yang dapat dipenuhi sendiri dan membatasi pasar lokal dari produk-produk dumping. Kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, tetapi justru mempromosikan perumusan kebijakan-kebijakan perdagangan yang melayani hak-hak rakyat atas keamanan, kesehatan, dan keberlanjutan produksi secara ekologis.

Selasa, 29 April 2008

PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

Keseimbangan Hidup Peradaban dan PerdamaianOleh : Dr. AS. Panji GumilangMembangun adalah menciptakan. Maknanya penyingkapan kosmologi sepanjang waktu, untuk menciptakan kemajuan pada level personal maupun sosial, membangun personal-personal yang kuat dan masyarakat yang kuat, menjadi bangsa yang kuat.
Diawali dengan penyingkapan sesuatu budaya dan merealisasikan budaya itu. Dan karena umat manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan dan merealiasikan budaya itu. Dan karena umat manusia mempunyai kebutuhan-kebutuhan, jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka mereka bukan manusia (makhluk hidup).
Karenanya pembangunan adalah pemenuhan (pemuasan) progresif kebutuhan-kebutuhan alam manusia dan non manusia, dimulai dengan mereka yang paling membutuhkan. Pada makna yang lain pula pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi, yang seharusnya tanpa mengorbankan siapapun. Sehingga tercipta perdamaian sebagai kondisi dalam ruang untuk pembangunan tanpa kekerasan.
Maka setting pembangunan adalah membangun suatu budaya. Budaya ingin maju, ingin kuat secara individual, masyarakat, dan bangsan, dilandasi oleh budaya dan peradaban yang kokoh masuk ke dalam realisasi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup dan kehidupan untuk umat manusia dan mahluk hidup lainnya yang non manusia, yang karenanya terciptalah pertumbuhan ekonomi yang merata dalam tataran individual, masyarakat maupun bangsa bahkan bangsa-bangsa di dunia, yang dapat memancarkan perdamaian internal dan eksternal dalam ruang pembangunan tanpa kekerasan.
Indonesia Membangun dari Masa ke Masa
Bangsa Indonesia dari masa ke masa telah masuk ke dalam ruang pembangunan baik secara sadar maupun tidak sadar. Pembangunan secara modern telah diperkenalkan kepada rakyat. Cultuurstelsel sejak abad ke-19 (1830) telah diperkenalkan kepda rakyat, dengan regulasi yang sangat ringan dan menjanjikan, namun dalam pelaksanaannya menjadi penyengsaraan rakyat. Setting pembangunan dalam Cultuurstelsel tidak seperti yang diuraikan dalam pembukaan tadi yakni tidak dilandasi pembangunan budaya rakyat yang ingin maju, ingin kuat secara individual maupun masyarakat, dan bangsa yang pada gilirannya memancarkan perdamaian dalam ruang pembangunan tanpa kekerasan, namun pembangunannya dilandasi keserakahan dan eksploitasi umat manusia terhadap sesamanya dan penuh kekerasan yang paripurna.
Dilihat dengan menggunakan kaca-mata pertumbuhan ekonomi dapat dikatakan sangat berhasil, karena pemerintah kolonial ketika itu dapat mengumpulkan devisa ribuan juta gulden sejak pelaksanaan Cultuurstelsel (1830-1877) dan Indonesia menjadi negara eksportir kelas 1 untuk hasil-hasil tropis.
Namun, jika dilihat dengan kaca-mata pembangunan untuk menciptakan kemajuan pada level personal dan social, pembangunan dalam konteks Cultuurstelsel menciptakan kesengsaraan rakyat secara missal yang tak terlukiskan dalam sejarah Indonesia, apalagi jika ditinjau dari segi hak-hak asasi manusia, pembangunan yang dilaksanakan dalam bentuk Cultuurstelsel itu merupakan potret pelanggaran hak asasi yang tiada tara, tercermin dalam berbagai pemaksaan dan kekerasan fisik dan non fisik dalam bentuk struktural maupun non struktural.
Hal itu terjadi karena orientasi dan filosofi pembangunan yang dianut pemerintah ketika itu adalah terfokus kepada pembangunan yang mengarah kepada pertumbuhan ekonomi an sich. Resminya pembangunan gaya Cultuurstelsel ini dihentikan, sekalipun dalam praktek masih terus berlanjut sampai dengan awal abad ke-20.
Selanjutnya, memasuki abad ke-20, tahun 1901 haluan politik baru berlaku di Indonesia sebagai tanah jajahan Belanda. Pemerintah (penjajah) merasa wajib untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan social dan otonomi penduduk pribumi. Tujuan pokok politik baru ini adalah memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memperhatikan pengolahan tanah. Dengan demikian, secara teoritis merupakan koreksi terhadap perjalanan pembangunan masa lalu. "Sistem eksploitasi digantikan dengan politik pengajaran yang maju". Orientasi baru ini terkenal dengan politik etis.
Haluan politik baru ini akan menentukan arah pembangunan baru. Tumbuhnya haluan baru ini adalah akibat dari pergolakan politik dan perlawanan terhadap penerapan politik colonial konservatif di Indonesia (Hindia Belanda), sekalipun perlawanan ini datangnya bukan dari anak negeri Indonesia, karena mereka belum mengenal bentuk pendidikan yang maju, namun perlawanan dan pergolakan tersebut dilakukan oleh bangsa penjajah yang memiliki kesadaran etika, oleh kaum intelektual yang merasa bertanggung jawab memperingatkan orang-orang sebangsanya akan bahaya-bahaya dehumanisasi di negara jajahan yang ada hubungannnya dengan eksploitasi dan kapitalisme yang mereka lakukan khususnya Cultuurstelsel. Orde Politik Etik ini membagi arah pembangunan kepada dua bagian yaitu, segi ekonomi dan segi sosial budaya. Dalam segi ekonomi, arahnya tidak beda dengan politik liberal. Bahwa modal swasta tetap diberi kesempatan luas untuk bergerak di negeri jajahan sedangkan pemerintah menjaimn keamanan dan ketenteraman dengan mengunakan pasukan-pasukan dan birokrasinya.
Adapun segi social budaya mengarah kepada peningkatan sosial budaya penduduk jajahan sejajar dengan peningkatan budaya orang Eropa. Dimana pemerintah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan meningkatkan nilai-nilai budaya daerah yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya Eropa (barat). Trilogi pembangunan di dalam orde ini adalah meliputi bidang irigasi, transmigrasi dan edukasi.
Pembangunan dalam politik etis ini sangat mempengaruhi perkembangan rakyat dan masyarakat Indonesia dalam memasuki abad ke-20. Tindakan-tindakan pembangunan yang berakibat jauh dalam perkembangan masyarakat Indonesia adalah sistem pendidikan yang diciptakan pemerintah (penjajah). Sistem pendidikan ini mengakibatkan terciptanya suatu golongan baru dalam masyarakat, suatu golongan yang terampil, karena dididik di sekolah-sekolah kejuruan, untuk menjalankan fungsi-fungsi baru yang diciptakan pada awal abad ke-20, dalam bentuk pegawai negeri dalam dinas-dinas seperti pendidikan, pertanian, kehutanan, kesihatan, bank kredit, dan lain-lain, yang diusahakan untuk kemakmuran penduduk. Tindakan dalam politik etis pada awal dekade abad ke-20 ini sangat membawa arti dan lebih banyak nilainya dari pada dalam masa 300 tahun sebelumnya.
Pembangunan yang dilakukan dalam politik etis berarti politik penjajahan untuk menghilangkan jurang perbedaan antara penjajajh dan rakyat jajahan. Walau akhirnya justru karena kebijaksanaan politik etis ini banyak penduduk pribumi yang berkenalan dengan kebudayaan barat yang justru dipergunakan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah (penjajah).
Pemerintah dengan politik etis sepanjang kekuasaannya selama 42 tahun, menghantarkan Indonesia dan bangsanya mengenal kehidupan ekonomi dan pendidikan modern gaya Eropa, yang selanjutnya menjadi basis perkembangan pembangunan poleksosbud rakyat dan bangsa Indonesia setelah mencapai kemerdekaan di tahun 1945.
Pembangunan selanjutnya adalah pembangunan di masa pendudukan Jepang, sejak Maret 1942 sampai Agustus 1945. Pemerintah pendudukan Jepang menganut pola pembangunan satu ruang yaitu pembangunan kemiliteran, sedangkan yang lain-lainnya selalu merupakan eksploitasi dan kekerasan maupun kekejaman. Dari Jepang bangsa Indonesia mengenal kemiliteran dan kedisiplinannya, yang sedikit banyak mempengaruhi perkembangan kemiliteran Indonesia di masa kemerdekaan.
Datangnya era kemerdekaan Indonesia tidak serta merta membawa bangsa ini masuk ke dalam situasi dan kondisi sejahtera. Mengingat seluruh perjalanan pembangunan yang terselenggara sebelumnya (Belanda maupun Jepang) diak dilandasi oleh suatu budaya ingin memajukan, menguatkan secara individual, masyarakat dan bangsa Indonesia.
Di samping itu, selama perjuangan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan antara pemerintah penjajah dan rakyat terjajah dalam mewujudkan cita-cita pembangunan ketika itu.
Kekerasan, kekejaman, mendapatkan perlawanan dari rakyat dalam bentuk yang sama, di samping pula pendidikan rakyat yang belum merata, mengakibatkan sebagian besar hasil pembangunan yang dilakukan oleh Belanda selaku penjajah tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal pada era kemerdekaan.
Euforia kemerdekaan berakibat terciptanya berbagai sikap yang tidak kondusif terhadap perkembangan Poleksosbud. Di bidang pemerintahan terjadi berbagai pergantian kabinet dengan masa kerja yang sangat singkat, dengan hanya hitungan bulan, diakibatkan oleh wujudnya multi partai yang selalu bersengketa. Di bidang ekonomi terjadi nasionalisasi berbagai industri dan perusahaan bekas penjajah tanpa dukungan tenaga yang mampu di bidangnya, yang pada gilirannnya membawa akibat mandeknya produksi (paling tidak merosot produktivitasnya).
Dan Indonesia merdeka, mulai membangun kembali di atas sisa-sisa peninggalan Belanda. Di bawa Presiden Soekarno, memulai pembangunan karakter bangsa. Dengan mengedepankan aspek politik sebagai panglima pembangunannya membangun keutuhan Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Meskipun, dengan slogan pembangunan semesta berencana, namun pembangunan selama 20 tahun di bawah Presiden Soekarno belum menyeimbangkan pembangunan perekonomian rakyat, yang sejajar dengan pembangunan politik.
Politik yang dibangun pada periode ini belum sampai kepada cita-cita dan kehendak rakyat mencapai kehidupan politik yang demokratis, bahkan banyak rakyat Indonesia yang menyikapi Soekarno sebagai pemimpin yan tidak demokratis. Kesejahteraan rakyat yang disimbolkan denga pemerataan kesempatan pendidikan, kesihatan, dan kemampuan daya beli, juga belum dikerjakan dengan baik dalam periode pembangunan 1945-1967 ini.
Periode pembangunan dilanjutkan oleh pemeritah berikutnya, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam pemerintahan Soeharto selama kurang lebih 30 tahun itu arah pembangunan menjurus kepada pembangunan ekonomi, dengan dukungan utama dari Negara-negara donor yang menganut paham kapitalis yaitu negara-negara Barat. Sepanjang perjalanan pemerintahan Soeharto negara-negara donor tak henti-hentinya memberikan dukungan dana (berupa hutang) bagi pelaksanaan pembangunan yang mengagungkan pertumbuhan ekonomi secara ketat.
Mazhab pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah Soeharto sama persis kehendak negara-negara donor Barat, bedanya dalam pelaksanaannya, masyarakat Barat telah terdidik dengan kebiasaan itu, sedangkan rakyat dan mayarakat Indonesia belum memiliki pengalaman dan pendidikan ke arah pertumbuhan ekonomi yang dianut oleh Barat.
Pembangunan ekonomi yang berjalan sekian panjang dan dengan modal multi milyar dolar itu, jutru gagal total pada saat tahapan pembangunan sudah mencapai target waktu yang ditetapkan yaitu pada tahapan yang diistilahkan tinggal landas, yang semestinya menjadi lebih baik karena dasar-dasar tatanan ekonomi telah tersusun dan dilaksanakan mengikuti tahapan-tahapan yang telah dibuat. Cita-cita membangun demi kesejahteraan menjadi kocar-kacir bahkan membuahkan krisis dahsyat yang hamper menjadi "dilema".
Pembangunan Indonesia yang orientasinya menjuru kepada pertumbuhan ekonomi dengan waktu panjang itu justru tidak membawa lompatan besar dalam kemajuan ekonomi, namun membuahkan kesenjangan antara golongan kaya dan miskin serta antara masyarakat perkotaan dan pedesaan. Kesenjangan social ekonomi itu telah menimbulkan frustasi, keresahan, bahkan kerusuhan social. Indonesia diguncang oleh kerusuhan di berbagai tempat, bahkan ancaman disintegrasi di berbagai wilayah.
Membangun Indonesia selama lebih dari 30 tahun itu justru menyuburkan mental korup pejabat birokrasi pemerintahan maupun pelaksana pembangunan dari segala lapisan. Pemerintah pusat belum berusaha maksimal memberantas korupsi, praktek terus merebak dengan cara yang canggih maupun asal-asalan yang terselubung di balik system birokrasi yang rumit dan tidak terbuka.
Presiden Soeharto selam pemerintahannya telah menetapkan program pembangunan dan melaksanakannya, semua langkah berlabel pembangunan, kabinet dan kementeriannya bernama Kabinet Pembangunan. Namun karena ruang pembangunan yang dilaksanakan hanya terfokus kepada pertumbuhan ekonomi dengan control ketat dan pendekatan security approach dan kegagalan pembangunan selam periode pemerintahannyapun penyebabnya adalah mazab pembangunan yang dianutnya, yaitu pembangunan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi an sich.
Kini, masa dan periode pembangunan yang dilaksanakan oleh Presiden Soeharto telah selesai dan digantikan oleh presiden-presiden penerusnya. Kita berharap, pengalaman pahit membangun Indonesia yang selama ini dilaksanakan sesungguhnya tidak harus terulang kembali melalui jalan kegagalan yang sama.
Enam tahun setelah pemerintahan Presiden Soeharto usai, Indonesia telah menampilkan 4 orang presiden. Kalau kita amati dengan cermat, tampak jelas, semangat reformasi yang menghantarkan tampilnya para presiden setelah Soeharto, belum masuk kepada reformasi mazab pembangunan Indonesia yang pernah dijalankan oleh pemerintahan Soeharto yang gagal. Justru para presiden setelah Soeharto cenderung masih mem-pertahankan mazab pembangunan yang membawa kegagalan itu, yakni mazab pertumbuhan ekonomi.
Membangun Kembali di Masa Krisis
Pembangunan pada prinsipnya merupakan sebuah pendekatan holistik terhadap kondisi manusia, dan pendekatan dinamis, dengan selalu memperhatikan ruang alam, tempat bagi pembangunan itu sendiri, atau setidaknya merupakan keseimbangan yang menjadi landasan kondisi manusia. Juga memperhatikan ruang manusia yang merupakan inti dari pembangunan mental/spiritual. Serta aspek-aspek lain dari ruang sosial dan seluruh ruang dunia.
Pembangunan secara holistik dan dinamis mencakup berbagai ruang interaksi : alam, manusia, social, dan dunia, sebagai perubahan-perubahan menuju perbaikan kondisi umat manusia dan kehidupan lainnya. Karenanya holisme dan dinamisme harus menjadi kerangka dasar visi pembangunan.
Interaksi dengan ruang alam maknanya, pembangunan harus mampu mewujudkan aliran keseimbangan ekologi. Alam telah ada jauh lebih lama dari-pada manusia. Alam sebagai sumber pelajaran mengenai holisme, dinamisme, dan berkelanjutan.
Membangun dalam keadaan krisis lingkungan/alam seperti hari ini harus mengalokasikan program-program untuk menata kembali, paling tidak berusaha untuk menyeimbangkan keberadaan alam degnan kehidupan umat manusia dan mahluk hidup lainnya, agar tercipta aliran keseimbangan ekologi dan keberkelanjutan.
Membangun berakibat wujudnya aktivitas dinamis itu, harus mempunyai budaya pantang : Berpantang dari aksi yang berlawanan dengan alam, artinya juga berpantang melakukan sesuatu yang berlawanan dengan watak (sibghah) segala sesuatu. Karenanya interaksi dengan alam terdapat dua jenis, aktivitas-aktivitas yang selaras dengan alam (eco-action) dan ada aktivitas-aktivitas yang berlawanan dengan arus alam (ego-action).
Semestinya pembangunan mengalokasikan program penyeimbangan alam itu sehingga menjadi suatu nikmat, dan bukan bencana. Sehingga mahluk hidup takkala aktivitas alam (dalam hal ini air) data, umat manusia dapat berkata, "terima kasih Tuhan, Engkau telah menurunkan rizki, kami mahluk hidup ini dapat menikmanti panen air tahun ini".
Sebaliknya takkala siklus pergerakan alam sampai kepada aktivitasnya yang mengakibatkan cuaca panas, banyak mahluk hidup terlanda kekeringan, merana, kehausan, kelaparan, paceklik, wabah penyakit, dan lain-lain.
Mestinya pelaku pembangunan mengalokasikan berbagai program untuk menyeimbangkan cuaca panas itu agar tidak menjadi bencana. Musim hujan yang ditunggu-tunggu justru menjadi bencana, dan musim panas yang diharap-harap juga menjadi bencana. Datangnya dua musim itu sudah dapat diketahui, ilmu dan teknologinya untuk berinteraksi dengan alam yang telah ada, kiranya dinamika suara jiwa yang belum tumbuh dalam batin pelaku pembangunan.
Modal yang hangus akibat kekeringan dan busuk oleh rendaman banjir, jauh lebih besar daripada menciptakan jalan keluar dari akibat aktivitas alam tersebut. Menghijaukan lingkungan, bukan sesuatu yang sulit untuk dilakukan, namun tidak banyak yang konsisten melakukannya, membuat cekungan-cekungan untuk menyimpan ari bukan sesuatu yang repot untuk dilakukan, namun tidak banyak yang mau memikirkan untuk itu, apalagi melakukannya.
Pembangunan mencakup ruang interaksi manusia, untuk ini ada tradisi medis yang memfokuskan pada kesihatan somatic dan kesihatan mental dan seluruh tradisi religius yang memfokuskan kepada kesihatan dan penyelamatan spiritual. Ruang manusia mencakup tubuh pikiran dan jiwa. Pikiran sebagai pusat emosi, kemauan, dan kognisi, jiwa sebagai pusat refleksi diri, refleksi tentang kemampuan diri sendiri untuk melakukan refleksi (filosofi), kompleksitas inilah yang akan membentuk kepribadian.
Pembangunan mencakup ruang interaksi manusia maknanya : usaha tanpa henti secara holistic dan dinamis membentuk kepribadian menyangkut dengan individu-individu, masyarakat-masyarakat, bangsa dan negara. Menyangkut Indonesia, kepribadian adalah sifat hakiki yang tercermin pada sikap seorang bangsa Indonesia yang membedakannya dari orang atau bangsa lain.
Karenanya aktivitas dalam ruang ini adalah aktivitas pendidikan untuk mewujudkan kepribadian individu-individu, masyarakat-masyarakat bangsa Indonesia yang kuat dan sihat, sihat somatik, mental dan spiritual, cerdas, bajik dan bijak menguasai sains teknologi, cinta bangsa dan negaranya dan mampu bergaul antar bangsa dengan baik.
Kepribadian yang terbentuk melalui pendidikan seperti itulah yang akan dapat menghantarkan individu-individu, masyarakat-masyarakat dan bangsa berkemampuan merawat sistem dalam bentuk aktivitas yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan. Mudah dilihat betapa bergantungnya semua ini kepada alam. Alam adalah ruang di mana kita istirahat dan aktif. Alam memasok sebagian besar input yang sangat diperlukan, dan menerima (dan mengubah) sebagian output kita. Untuk dapat mengakomodasi, sebagai tuan rumah manusia, alam harus kuat (apalagi jika manusia bertindak sebagai parasit). Dan karena manusia adalah organisme biologis dengan kepribadian-kepribadian, manusia mempunyai kebutuhan lain selain kebutuhan bio. Yakni kebutuhan spiritual manusia.
Di dalamnya mencakup kebutuhan identitas dan kebutuhan akan kebebasan. Dua jenis kebutuhan ini berkaitan secara dialektis. Kebutuhan identitas menuntut titik pasti, segala sesuatu yang di sekitar-nya menyebabkan individu dapat membangun dan memperluas persekutuan-persekutuan di atas dirinya sebagai mahluk hidup. Sedangkan kebutuhan akan kebebasan adalah kebuthan akan ruan, akan mobilitas somatik, psikologis, dan spiritual akan pilihan, kebutuhan untuk berserikat dan tidak berserikat.
Untuk memenuhi kebutuhan sebagai makluk hidup, berupa kebutuhan untuk kelangsungan hidup dan kebutuhan akan kesejahteraan hidup maka pembangunan mesti memasuki tataran penghormatan atas pelaksanaan hak-hak asasi manusia, demokrasi, ekonomi, dan politik yang selalu mengedepankan perdamaian dengan jalan tanpa kekerasan.
Kaitan pelaksanaan hak asasi manusia dengan demokrasi selalu imbal balik, karena semakin banyak hak asasi manusia yang diberikan dan dihormati oleh bangsa, semakin banyak tugas-tugas kemanusiaan yang dapat diminta dari penduduk, seperti untuk pajak dan tugas-tugas pertahanan negara.
Begitu juga, biasanya, makin demokratis suatu negara makin banyak hak-hak asasi manusia diimplementasikan, dan makin banyak HAM diimplementasikan, makin banyak pula tugas kemanusiaan dapat ditunaikan. Membangun pelaksanaan HAM dan demokrasi adalah upaya melembagakan mekanismenya, dan eksistensinya tidak tergantung hanya pada tingkah sesaat para pemimpin Negara / masyarakat.
Membangun demokrasi Indonesia dalam hal ini adalah mem-bangun kepribadian demokrasi Indonesia. Kita tidak harus khawatir dengan progresivitas dan dinamika demokrasi yang sedang berjalan di Indonesia saat ini. Membangun kepribadian demokrasi Indonesia yang kita harapkan adalah membangun dan mewujudkan Indonesia yang demokratis dimana pembuatan keputusan-keputusan secara demokratis, dan semakin demokratis pembuatan keputusan, semakin jauh Indonesia dari sikap suka perang.
Demokrasi Indonesia yang kita harapkan bukan lah kekuatan demokrasi untuk memperbesar persaingan dalam negeri untuk saling merebut kekuasaan, karena semakin besar persaingan untuk merebut kekuasaan, makin besar godaan untuk memperoleh dukungan melalui agresi luar. Demokrasi Indonesia yang kita inginkan adalah Indonesia yang demokratis, yang kerenanya Indonesia menjadi Negara yang semakin surplus perdamaian dalam negeri, sehingga tersedia banyak kesempatan berdiplomasi antar bangsa. Kepribadian demokrasi Indonesia, bukan Negara demokrasi yang para pemimpinnya / rakyat-nya merasa benar sendiri, yang karena semakin merasa benar sendiri pemimpin/rakyat, makin suka berperanglah Negara itu, bukan itu kepribadian demokrasi kita.
Membangun kepribadian demokrasi (Indonesia) memang bukan suatu pekerjaan sekali jadi, memerlukan ketekunan dan kesabaran, memerlukan perlembagaan mekanisme dan sistem yang terus menerus disempurnakan. Semakin dalam kita memasuki kepribadian demokrasi, semakin banyak kita temukan ragam, semakin banyak ragam yang berinteraksi, semakin kokoh wujud kepribadian demokrasi itu. Dalam hal kepribadian demokrasi (Indonesia) ini, kita dapat saksikan betapa cepat peningkatan sikap otonomi rakyat Indonesia dalam merespon makna demokrasi.
Kendali elit politik hampir-hampir tidak dapat mengekang gerak otonomi mereka, ini adalah modal besar bagi pembangunan kepribadian demokrasi (Indonesia) kini dan mendatang. Dinamika perwujudan kepribadian demokrasi (Indonesia) saat ini juga dapat menimbulkan kekhawatiran sebagian orang, ada yang menganggap apa yang terjadi dalam kepribadian demokrasi (Indonesia) yang sedang berjalan ini dianggap menimbulkan kekalutan. Dan ia tiba kepada kesimpulan dan mengajak kembali saja ke UUD 1945 yang murni. Itu juga merupakan ragam berdemokrasi, sepertinya ajakan elit seperti itu wajar di dalam ruang demokrasi, namun rakyat selaku pemegang keputusan semakin mengerti dan paham dalam memposisikan otonomi dirinya.
Pembangunan secara holistik dan dinamis tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi. Namun pembangunan ekonomi ini tidak merupakan ukuran satu-satunya. Mestinya visi pembangunan ekonomi pada dewasa ini di Negara kita tidak terlalu berkiblat pada pertumbuhan, namun lebih menitik-beratkan kepada siklus otonomi local dengan melibatkan sebesar mungkin partisipasi rakyat yang semakin jelas sosok otonomi dirinya.
Berbasis dari otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi pemerintahan, maka ide dasar pembangunan ekonomi ini adalah mengandalkan pada kemampuan local, bahkan swadaya local, yang berarti konsumsi local atas apa yang diproduksi dan produksi lokal atas apa yang dikonsumsi, maka skala kecil, lebih horizontal, melibatkan dan mempersatukan banyak orang, mampu mewujudkan integrasi pekerjaan, rotasi pekerjaan dan rekontruksi pekerjaan.
Produksi untuk laba atau pemenuhan rencana bukanlah tujuan dalam dirinya (masyarakat mandiri). Unit produksi tipikal menjadi sebuah koperasi yang dikelola sendiri dengan dialog dan keputusan bersama semua orang yang terlibat, termasuk konsumen, produksi pada dasarnya untuk digunakan, bukan dipertukarkan, hubungan dengan mitra dagang bersifat kooperatif, dan hubungan dengan alam menjadi sangat harmonis.
Pembangunan alternative yang ditawarkan ini adalah sebagai jawaban untuk kehidupan masyarakat yang dilanda krisis, kirannya dalam perjalanannya ke depan, takkala masyarakat Indonesia ini sudah mulai bangkit, rakyat sudah terlatih dalam kiprahnya sebagai pelaku pembangunan dan bukan sebagai penonton lagi. Kebudayaan umat manusia tidak pernah berhenti dalam sebuah titik besar, selamanya akan terus berkembang selaras dengan perkembangan umat manusia itu sendiri.
Karenanya kita selaku bangsa besar, tidak boleh berhenti dalam sebuah metoda tanpa evaluasi, sekalipun metoda itu telah membawa kegagalan. Alternatif pembangunan ekonomi (masyarakat mandiri) yang kita uraikan dalam kesempatan ini adalah hasil aplikasi sebuah teori yang sedang kita jalankan dalam lingkungan masyarakat Al-Zaytun, yang mungkin dapat dikembang-luaskan ke berbagai daerah, sebab selama masa krisis nasional Al-Zaytun tidak terkena imbas dari krisis itu.
Dan pembangunan seperti ini (masyarakat mandiri), sesungguhnya merupakan usaha memperkecil bahkan menghentikan segala utang luar negeri yang selama ini menyengsarakan dan menjadi beban rakyat yang menjadi penonton pembangunan.